A year later,
Arsen menginjakkan kaki kembali di Jakarta. Alasannya mudah. Dia di drop out dari kampusnya karena lebih sering absen untuk ke luar negeri. Arsen berjalan keluar dari bandara. Dia melangkah denga. Earpod di telinganya.
Bruk!
"Maaf," ujar Arsen saat dia menabrak seseorang hingga dompet orang itu terjatuh.
Arsen mengambil dompet itu dan melihat foto dari seseorang yang sangat dia kenal.
"Maaf?" Ujar orang itu.
Arsen tersadar dan langsung mengembalikan dompet itu pada orang yang dia tabrak.
"Pacar anda?" Tanya Arsen penasaran.
"Mungkin. Jika bisa dibilang begitu,"
Kening Arsen berkerut. Arsen memilih mengangguk dan pamit dia berjalan menjauh dari orang itu.
"Jangan ikut campur Arsen! Jangan ikut campur!" Ujarnya pada diri sendiri.
Arsen menghentikan taksi dan segera pulang ke rumah ayahnya. Butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai di rumahnya karena kemacetan. Arsen turun setelah membayar supir taksi itu. Dia mengambil kopernya dari bagasi dan segera masuk ke rumahnya.
"Pi..." panggil Arsen.
Keluarganya yang sedang ada di ruang tamu langsung menoleh kaget ke arahnya. Arsen baru mau tersenyum saat dirinya ditubruk oleh badan mungil adiknya.
"Kakak kenapa pulang nggak bilang-bilang? Alesha kan bisa jemput kakak!"
Arsen terkekeh saja mendengar gerutuan adiknya.
"Kenapa sudah pulang?" Tanya Ardan.
Arsen menyengir. "Di D.O,"
"Kok bisa?" Kali ini Arman yang bertanya.
"Kebanyakan izin buat ke luar negeri,"
Alvaro hanya menggelengkan kepalanya. Dia senang anaknya kembali ke Jakarta. Namun, dia tidak tahu apa anaknya sudah lebih baik atau masih seperti sebelum dia berangkat ke German.
"Arsen nggak pa-pa, pi," ujar Arsen saat melihat raut wajah ayahnya yang nampak khawatir.
Jika Ardan kakaknya ahli dalam meniru seseorang lalu, Arman ahli membuat mental sesekrang jatuh akibat perkataannya, maka Arsen adalah ahlinya menyembunyikan sesuatu. Termasuk perasaannya. Jika Arsen tidak berniat memberitahu, maka tidak akan ada yang tahu bagaimana perasaan Arsen sebenarnya.
Alvaro bukannya tidak tahu anak ketiganya sedang berbohong. Dia tahu. Karena ketiga anak itu mewarisi sifatnya. Semua sifat di ketiga putranya adalah sifat miliknya. Alvaro mengangguk saja. Jika Arsen mengatakan dia tidak apa-apa, itu artinya dia harus memberi ruang bagi Arsen untuk menenangkan dirinya.
"Istirahatlah, nak. Perjalanan kamu jauh, kamu pasti lelah duduk terus di pesawat,"
Arsen mengangguk. Dia membawa kopernya melewati ruang tamu dan menuju ke tangga.
"Pi,"
"Hm?"
"Beli private jet satu, mau nggak?"
Alvaro terkekeh kecil.
"Akan papi beli nanti,"
"Aku sudah beli," ujar Arman.
Semua orang menatapnya. Dia hanya tersenyum kecil.
"Baru saja kemarin. Pesawatnya juga belum dikirim,"
Arsen menggelengkan kepalanya. Memang saudara-saudaranya itu kaya. Tidak perlu diragukan berapa tabungan dan deposito yang mereka punya. Karena jawabannya pastilah banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #3] Save Me Hurt Me
Teen FictionDimitra Series yang ketiga Putra ketiga dari keluarga Dimitra yang bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit "Tolong saya..." Sebuah kalimat yang terngiang di kepala sang dokter selama berhari-hari. Apakah permintaan orang tersebut? Akankah sang...