Sidang

1.8K 328 40
                                    

Belum juga salah satu dari keluarganya memanggil, Arsen sudah muncul dari balik pintu. Matanya seperti mencari sesuatu.

"Cari siapa?" Tanya sang kakak dengan ketus.

"Istriku tentu saja. Siapa lagi?" Ujar Arsen menjawab kakaknya.

"Nai tidak kesini, pi?" Tanya Arsen pada sang ayah.

Sang ayah hanya menatapnya sekilas sebelum memilih berbincang kecil dengan putri bungsunya. Arsen mengernyit heran. Sepertinya tadi pagi semua baik-baik saja. Kenapa saat ini semua seolah menjauhinya? Begitu permikiran Arsen kira-kira.

Suara pintu terbuka membuat Arsen segera menoleh. Jujur, dia berharap itu adalah Naira, walau harapannya harus pupus lantaran yang baru datang ternyata kakaknya juga.

"Pi, kenapa memanggilku kesini?" Tanya sang kakak pada sang ayah.

"Tanyakan pada adik atau istrimu saja," Ujar Alvaro dan anaknya memilih diam.

"Nat, kamu liat Naira tidak?" Tanya Arsen setelah hening melanda beberapa saat.

"Kamu masih ingat punya istri?" Tanya salah satu kakaknya membuat Arsen merengut.

"Apa maksud kakak? Tentu saja aku selalu ingat!"

"Oh, ya? Aku pikir kau lupa kalau kau sudah beristri,"

"Maksud kakak apa sih?" Tanya Arsen mulai tidak terima dituduh oleh sang kakak.

"Maksudku apa? Astaga! Bagaimana bisa aku punya kembaran sebodoh dia? Coba kau pikirkan sendiri kesalahanmu!"

"Salah? Salah apa? Aku membuat kesalahan apa? Kenapa kakak tiba-tiba memarahiku begini?"

"Kau ini terlalu bodoh kah atau apa? Teman sejawatmu saja lebih pandai darimu!"

Arsen mengernyit bingung.

"Setidaknya dia tidak meninggalkan istrinya di lorong rumah sakit tanpa mengatakan apapun demi pergi dengan belatung nangka dengan dalih mengantarnya ke kamar rawat!" Ketus sang kakak membuat Arsen mengingat sekelebat kejadian beberapa menit lalu.

"Belatung nangka? Kak! Dia itu pasienku. Wajar bukan kalau aku mengantarnya?"

"Ada Alika disana! Dia bisa mengantarnya!" Ujar sang kakak menggebu-gebu.

"Ya tapi, tetap saja mengantar pasien adalah salah satu tugasku, kan?"

Alvaro menggelengkan kepalanya. Begitu pula para wanita disana. Entah kenapa Arsen seperti ini.

"Rio Arseno Kenneth Dimitra! Sejak kapan pasienmu bisa memanggilmu dengan nama kecilmu?!" Bentakan itu membuat Arsen terkejut bukan main.

Terkejut dalam artian sebenarnya. Arsen bukan baru sekali atau dua kali mendengar bentakan maupun mulut pedas kembaran yang terpaut 5 menit darinya itu. Arsen juga tidak pernah ambil pusing untuk setiap omelannya. Tapi, untuk yang satu ini, Arsen benar-benar dibuat terkejut.

Hanya karena nama kecil, kakak-nya marah padanya? Yang benar saja! Arsen tidak habis pikir mendengarnya. Arsen baru mau berteriak membalas sang kakak jika kakak tertua mereka yang tadi baru datang tidak menghentikannya.

"Aku baru datang dan aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi barusan. Jadi, bisa salah satu dari kalian menjelaskan padaku dulu?" Tanya Ardan.

Arsen dengan senang hati menjelaskan.

"Aku bertemu Naira tadi di koridor rumah sakit. Saat itu aku dan Alika baru selesai memeriksa pasien dan kami bertiga bertemu dengan salah satu pasienku," Ujar Arsen.

"Lalu?" Tanya Ardan.

"Aku mengantarnya ke kamar rawatnya karna dia masih duduk dikursi roda pasca operasi beberapa hari lalu,"

[DS #3] Save Me Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang