45 "Luka Lama"

2.2K 86 0
                                    

Gavin memarkirkan mobilnya di basement apartement lalu membuka kan pintu mobil untuk Devira. Devira keluar tanpa bicara. Gavin segera menggandeng tangan Devira. Pegangannya erat, sangat erat, bahkan Devira bisa merasakan basah keringat dari tangan Gavin dan tangannya.

Saat di Apartemen, Gavin masih belum berbicara, ia juga tidak melepaskan gandengannya. Devira sama sekali tidak tahu harus berbuat apa.

Gavin sekarang diam dihadapannya. Mereka berdiri masih didekat pintu masuk apartemen. Gavin tidak bicara, sepertinya ia kembali pada mode Gavin si manusia tidak bisa digapai.

"Mas..." Devira memberanikan diri untuk berbicara. Ia tidak tahan ditatap tanpa kata seperti itu. Akhirnya ia berhasil melepaskan genggaman tangannya dari Gavin.

Gavin melangkah lebih dekat. Memegang pipi Devira dengan tangan kanannya. Ibu jadi laki-laki itu bergerak mengusap sisi bibir Devira yang tadi di sentuh Darren.

"Aku harus hapus ini" kata Gavin sambil mengusap sisi bibir Devira pelan.

"Gak boleh ada orang yang sentuh" kata Gavin lagi. Lalu laki-laki itu menarik Devira ke dalam pelukannya. Menenggelamkan kepalanya disisi leher Devira dan menghirup napas. Wangi vanilla menusuk hidung Gavin. Devira hanya menepuk-nepuk punggung Gavin dengan telapak tangannya pelan.

Devira terkekeh pelan. Mau dilihat dari sisi manapun, Gavin ini lucu menurutnya, cemburunya lucu, bukan ingin protes seperti sering kali ia lakukan, tapi ia malah makin ingin memeluk laki-laki ini, Devira baru pertama kali merasakan hal seperti ini. Bagaimana Gavin bisa menahan semuanya tanpa emosi, bagaimana Gavin justru memperlakukannya dengan baik, tidak ada teriakan, tidak ada amarah, Gavin hanya diam, lalu berkata-kata seperti itu. Dengan nada yang tenang.

Bagaimana Devira tidak semakin jatuh cinta? Dibalik sikap Gavin yang dingin, tidak banyak bicara itu ternyata terdapat sisi menggemaskannya.

Devira melepaskan pelukannya, Gavin pun sama.

"Mas....gemes banget" kata Devira sambil mencubit pipi Gavin. Telinga Gavin memerah, tangannya mengusap pipinya sendiri yang dicubit Devira. Lalu seutas senyuman terukir dibibir Gavin. Sayang sekali Devira tidak sempat melihat karena ia bergerak berjalan lebih dulu.

"Kita gak mungkin diem disini aja kan? Kayanya lebih baik kita duduk" kata Devira. Ia berjalan mendahului Gavin masuk ke dalam. Gavin hanya mengekori dari belakang.

"Kamu pasti lapar, bentar aku angetin makanan yang dibawa dari rumah mama" kata Devira. Ia membuka lemari es, mengeluarkan makanan lalu dimasukan ke dalam microwave. Di restoran tadi Devira tahu Gavin tidak memesan apapun, itulah kenapa Devira begitu yakin kalau Gavin kelaparan.

Gavin duduk di meja makan, memperhatikan Devira yang sibuk di dapur. Beberapa menit kemudian suara ting terdengar, pertanda makanan sudah siap. Devira meletakan makanan itu di atas meja. Lalu duduk dihadapan Gavin.

"Maaf" kata Gavin.

"Kenapa Mas minta Maaf" kata Devira.

"Maaf aja" kata Gavin.

"Mas gak punya salah, gak perlu minta maaf" kata Devira.

"Oh iya mas, Kamis minggu depan aku wisuda, jadi aku mau izin ke bandung ya, boleh?" Tanya Devira.

Gavin berhenti makan sejenak, lalu menganggukkan kepala.

"Sama aku" kata Gavin.

"Hari kamis mas kan kerja? Aku gak apa-apa, acara wisuda paling cuma setengah hari, habis itu aku bisa pulang lagi" kata Devira.

"Aku bisa kerja diluar kantor, kita bisa diem di Bandung sampe weekend" kata Gavin.

Devira tersenyum senang tentu saja. Kedua matanya terbuka lebar dan berbinar.

The Fault in Life [THE END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang