46 "Batasan"

2.1K 95 2
                                    

Devira terdiam beberapa saat, memori itu seperti film yang diputar kembali, perasaan dan kejadian-kejadiannya masih terekam jelas diingatan Devira. Rasa sesaknya masih terasa di dadanya.

"Ra, kita balik lagi bisa kan?" Tanya Ryan.

Devira tersadarkan dari lamunannya mendengar kalimat yang keluar dari bibir Ryan. Sekelilingnya masih banyak orang, terlihat orang-orang yang berlalu lalang masuk dari pintu lobi.

"Kita ulangi lagi dari awal, aku tahu kamu udah putus sama David" kata Ryan lagi.

Devira menatap Ryan dengan tatapan yang sulit diartikan, jujur ia ingin menatap laki-laki itu dengan tatapan kesal tapi Devira cukup jago dalam berekspresi, jadinya ia hanya menatap datar Ryan. Lagipula kalau Ryan tahu soal David, bukannya sudah jelas antara dia dan Ryan sudah tidak ada apa-apa karena Devira sempat menjalin hubungan dengan David. Lantas, kenapa sekarang pikiran laki-laki itu jadi aneh?

Devira menggeleng-gelengkan kepalanya. Sangat tidak setuju dengan ucapan Ryan. Otaknya sudah sangat ingin meledak.

"Ryan, tolong dengar, kita udah gak ada hubungan apa-apa lagi, kamu dan aku, kita, udah berakhir 1,5 tahun lalu" kata Devira, lalu mengambil napas lama. Menghirupnya perlahan, dihembuskan dengan kasar, seperti sedang mengeluarkan emosi yang tertahan.

"Tolong jangan ganggu aku lagi" lanjut Devira.

"Ra, aku janji aku akan berubah, aku gak akan ngelakuin hal yang ga kamu suka, aku akan ikuti mau kamu, please, balik sama aku" jelas Ryan lagi. Dalam nada bicaranya terdengar memohon dan putus asa.

Bisakah Devira menendang Ryan saat ini juga?

Oke, itu terlalu jahat.

"Ryan, jangan kaya gini, masih banyak orang di luar sana yang suka sama kamu" Devira berpikir sejenak, mencari-cari nama kenalannya yang dulu sempat tertarik dengan Ryan saat mereka masih berstatus pacaran. "Diana, dia suka sama kamu dari dulu, kamu bisa lihat dia Ryan" lanjut Devira.

Ryan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku maunya sama kamu Ra"

Keras kepala, Ryan selalu seperti itu, sifat yang paling tidak disukai Devira. Ryan tidak akan pernah mau mendengarkan orang lain jika ia sudah menentukan pilihan.

"Tapi aku gak mau sama kamu Ryan" keluh Devira. Lelah. Ia berharap Gavin segera pulang dan menolongnya saat ini juga. Devira menyempatkan diri melirik jam tangannya, masih pukul 16.36, masih jauh waktu untuk Gavin pulang ke apartement.

"Ryan, perasaan itu gak bisa dipaksain, aku juga gak bisa paksa kamu untuk berhenti, tapi kamu juga gak bisa paksa aku untuk menerima kembali, semua udah beda Ryan. Tolong jangan ngelakuin ini" jelas Devira.

"Ra..." Perkataan Ryan tergantung, tapi laki-laki ini tidak melanjutkan kata-katanya.

"Maaf, aku gak bisa terima itu, tolong mengerti" kata Devira.

"Tapi kita bisa kan jalan berdua?" Tanya Ryan.

Apa maksud laki-laki ini?

Kemudian Devira menggelengkan kepala menandakan penolakan.

"Kita masih bisa ketemu kan?" Tanya Ryan.

Devira mengangkat bahunya, pertanda tidak tahu. Bukannya selama seminggu dua kali mereka bertemu di tempat kursus? Masih perlu Ryan bertanya?

"Aku gak bisa berteman sama kamu kalau kamu masih punya perasaan seperti itu, aku tahu kata-kata aku menyakiti hati kamu, mungkin ego kamu juga gak akan menerima ini, tapi ini baik bagi aku dan bagi kamu juga. Kita perlu memperjelas batasan. Mungkin lebih baik kita gak bertemu lagi Ryan" jelas Devira. Nada bicaranya tenang, tidak seperti tadi tersulut emosi. Kali ini Devira bisa lebih berpikir.

"Beneran gak bisa ya Ra?" Tanya Ryan lagi, nada bicaranya masih mengharapkan sesuatu yang lebih.

Devira mengira mungkin Ryan masih ingin memaksa, karena selama ini, keinginan Ryan akan selalu terturuti olehnya jika laki-laki ini menunjukkan sisi menyedihkan. Tapi kali ini, Devira tidak akan tergoyahkan, cukup sulit untuk bisa keluar dari jeratan Ryan karena selama ini Devira selalu merasa menjadi pihak jahat, padahal selama ini Ryan yang selalu playing victim.

Devira menggelengkan kembali kepalanya.

"Aku pikir gak ada yang harus kita bicarakan lagi, tolong jangan lakuin ini lagi Ryan, jujur aku gak nyaman" kata Devira.

"Aku harap kamu mengerti" kata Devira. Kemudian ia berdiri dari duduknya. "Permisi" lanjut Devira.

Devira pergi meninggalkan Ryan yang masih diam terduduk di sofa lobi apartemennya. Laki-laki itu seperti masih ingin bicara karena mulutnya terbuka, tidak lama kemudian tertutup. Kata-katanya tertahan dan tidak sempat dikeluarkan. Ryan menunduk. Tidak ada lagi kesempatan. Ryan menyadari hal-hal buruk yang telah ia lakukan saat bersama Devira. Ia tersadar saat Devira memutuskannya sepihak, saat itu, Ryan langsung kalang kabut, Devira memutuskannya saat Ryan berada jauh di luar pulau, sedang ada acara keluarga. Jadi ia tidak bisa langsung menghampiri Devira untuk meminta penjelasan, tidak bisa menghubungi Devira karena kontaknya langsung di blokir, semua sosial medianya juga di blokir. Ryan marah, ia harus menunggu waktu saat ia kembali ke Bandung.

Waktu di Bandung, Ryan tidak bisa menghubungi Devira, temannya tidak ada yang mau memberi tahu, kemarahan berubah menjadi kesedihan, pertama kalinya Ryan menangisi perempuan selain menangis karena Mamanya. Tidak ada Devira ternyata begitu membuat kehidupan Ryan kosong, ia menyadari kesalahan-kesalahannya yang terlalu egois, terlalu memaksakan kehendaknya, selalu marah. Beberapa bulan kemudian, Ryan tahu bahwa Devira sudah bersama laki-laki lain bernama David. Ryan tidak terima itu, sisi hatinya merasa marah, tapi sisi hati yang lain merasa bahwa hal ini terjadi karena kesalahannya juga.

Sampai akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali, di kota yang berbeda. Ryan merasa pertemuan mereka menjadi kesempatan yang diberikan semesta padanya. Ryan tahu Devira sudah tidak berhubungan dengan David lagi, informasi dari teman-temannya yang lambat laun tidak begitu memprotek Devira dari dirinya.

Ryan jadi punya semangat untuk mencoba kembali. Namun, hasilnya tetap sama. Devira benar-benar tidak menginginkannya lagi. Dengan perasaan yang tentu saja merasa sakit dibagian hatinya. Ryan mencoba menerima. Lalu ia berdiri dan pergi dari lobi apartemen Devira.

***

Devira meminum segelas air mineral dengan cepat. Berbicara dengan Ryan cukup menguras energinya. Semoga laki-laki itu bisa mengerti ucapannya. Devira tahu ia sudah bersikap jahat, ia sangat menyadari hal itu, tapi hati tidak bisa dipaksakan. Pada akhirnya mereka akan sama-sama sakit. Lebih baik seperti ini. Ditambah hatinya sudah dimiliki orang lain.

Dengan sadar, tangan nya mencari kontak Gavin dalam ponsel. Memanggil Gavin.

"Halo Ra, aku lagi dijalan pulang"

Suara Gavin langsung terdengar ditelepon saat dering pertama. Devira tidak bisa menahan senyumnya. Waktu belum menunjukkan pukul 5. Masih kurang, tapi Gavin sudah mau pulang. Tumben.

"Wah tumben mas" kata Devira riang.

"Kan mau ke Bandung Ra, lupa ya?"

Ah. Benar. Devira lupa. Efek bertemu Ryan tadi.

"Lupa, kalau gitu aku packing dulu, hati-hati dijalan mas, aku tutup ya, bye" kata Devira panik, ia bahkan lupa menutup teleponnya. Sementara Gavin tidak berniat menutup telepon itu.

Devira panik setengah mati, ia belum menyiapkan segalanya. Sesekali ia berteriak mengatakan kata OMG, Ya Tuhan, Tidak, Aku harus cepet, dimana....bla-bla. Gavin hanya tertawa mendengar itu semua. Apa yang membuat Devira lupa acaranya sendiri?

Setelah itu Gavin mematikan telepon. Fokus menyetir dijalanan yang cukup macet.

Sesampainya di Apartemen Gavin segera masuk. Waktu menunjukkan pukul 18.15, Devira tidak ada dilantai 1. Gavin menebak Devira masih mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke Bandung.

The Fault in Life [THE END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang