bab 22

35.3K 3.4K 93
                                    

Dian menatap sayu wajah keturunan Jepang yang terlihat sibuk memilih-milih warna crayon untuk mewarnai buku yang terbuka lebar di atas meja di depan sofa.

Divia dan dirinya berteman baik di masa lampau, wanita itu menjalin hubungan bersama seorang pria berdarah Jepang. Divia menempati kontrakan di samping rumah keluarganya, pembawaan bunda yang riang dan ramah membuat keduanya mulai akrab, mereka tak canggung lagi bertanya hal detail satu sama lain.

Divia hanya anak kurang beruntung yang di besarkan di panti asuhan, pendidikan terakhirnya hanya bisa duduk di bangku SMP, ia menghabiskan waktu di panti mengurus anak-anak panti dan membantu ibu panti mengurusi pekerjaan rumah sampai akhirnya di bawa ke Jakarta sama Hiro.

Hiro sesekali mendatangi rumah kontrakan yang di tempati Divia, selama hidup di Jakarta pria berdarah Jepang itu yang memenuhi kebutuhan Divia. Divia yang anak kampung itu mulai serakah, meminta banyak barang-barang dari kekasihnya.

Saat ia akan berangkat ke kampus ia melihat Hiro memarkir mobil di depan halaman kontrakan Divia, ia hanya acuh tak acuh seraya memasuki mobil Hosea berangkat ke kampus bersama kekasihnya. Sore itu, Divia mendatanginya meraung-raung histeris mengadukan bahwa Hiro akan segera menikah dengan wanita pilihan keluarganya.

Ia pikir setelah menikah Hiro akan mengakhiri hubungan di antara keduanya, kedua manusia yang sudah di mabuk cinta itu tetap berhubungan di belakang keluarga Hiro.

Ia tak tahu lagi apa yang terjadi dengan Divia setelah ia menerima lamaran keluarga Hosea dan mulai menempati rumah yang suaminya beli untuk mereka.

Di saat akan memakaikan sepatu untuk anak lelakinya yang luar biasa tampan tampak Divia berdiri di depan tangga teras rumahnya, ia tergesa menghampiri wanita yang tampak tak terawat itu, rambutnya kusut seakan tak di keramas dua bulan, matanya luar biasa bengkak masih terdengar isakan lirih dari bibirnya yang memucat.

Divia membawa kabar jikalau dirinya hamil, ia bingung harus mengadu kepada siapa, karena selama di bawa ke kota ini wanita itu hanya dekat dan mengenal bunda.

Divia memutuskan melahirkan bayinya tak peduli ia tak lagi bersama Hiro. Dian menawarkan Divia tinggal di rumahnya namun wanita yang tampak berantakan itu menolak niat baiknya mentah-mentah, ia tak pernah tahu pagi itu akan menjadi pertemuan terakhir keduanya. Sosok Divia seakan di telan bumi, ponselnya tak lagi aktif, rumah kontrakannya dulu sudah di tempati orang asing, sejak itu ia hanya sibuk mengurus keluarganya, mengira mungkin Divia sudah kembali ke kampung halamannya.

Bunda tersentak kaget saat ada sentuhan lembut di lengan kanannya, tergesa ia menghapus pipinya yang mulai di banjiri air mata, "kamu lapar?" suaranya terdengar parau saat bertanya pada anak yang kini tak lagi sibuk mewarnai.

"Kamu menangis?" bunda tersenyum manis kemudian menggeleng, "enggak, mata saya kemasukan debu, jadinya perih."

"Aku mengira kamu menangis, aku hanya mencemaskan kamu."

🐰🐰🐰

"Anak sialan! Seharusnya kamu mati!" Divia menghajar dengan brutal anak berusia tujuh tahun itu, bocah yang tak siap jika kepalanya akan di pukul melompat kaget, ia memandang nanar wajah wanita yang berteriak di hadapannya.

"Seharusnya saya membunuhmu dulu! Karenamu pria yang saya cintai meninggalkan saya dan memilih hidup bersama orang lain." Divia mendorong-dorong bahu rapuh itu, kaki kecil itu menginjak nasi yang hendak ia makan dengan kakinya sendiri, ia mulai menangis.

"Kamu sudah pulang?" Zifa tersenyum hangat menyambut ibunya yang pulang cepat hari ini,"apa kamu bawakan aku makanan hari ini?" tanyanya mengekori langkah wanita itu masuk ke dalam rumah.

Dosen & Gadis IdiotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang