bab 31

37K 3.4K 394
                                    

"Masnya bukan orang Indonesia, ya? Blesteran mas?"

"Iya, ayah saya asli berasal dari Jepang sedangkan ibu kelahiran Indonesia."

"Oh, pantes, pertama kali liat masnya kayak orang luar gitu, mas udah lama netap di negara ini?" Divia bertanya sekali lagi sesekali matanya mencuri pandang pada sosok pria tampan di sebelahnya.

"Lumayan, masa remaja saya habiskan di sini, sesekali balik ke negara orangtua."

"Wah kedengarannya enak ya, mas?" Divia meremas keranjang kain cuciannya, kelihatannya pria ini anak orang berada, "biasa aja, saya malah pernah bermimpi lahir dari keluarga sederhana," sontak Divia tertawa kecil mendengar gurauan pria itu, "banyak-banyak bersyukur aja mas." Divia menanggapi seadanya.

"Kamu tinggal di sini?"

"Iya, mas. Mas risih ya ke tempat kayak gini?" gadis berusia tujuh belas tahunan itu menaruh keranjang cuciannya di depan teras panti, "di sini khusus nampung anak-anak yang gak punya orangtua mas, kayak saya ini." Divia menjelaskan, sorot mata teduhnya membuat dada Hiro berdesir, "maaf, bukan maksud saya bikin kamu gak enakan, saya cuma tanya rumah kamu di sini?"

"Iya, mas. Mas mau mampir dulu?" tawar Divia tersenyum manis, "kapan-kapan aja."

Divia tak berharap di pertemukan untuk kedua kalinya dengan pria tampan itu.  Pertemuan keduanya yang secara tak sengaja saat Divia sedang mencuci pakaian di sungai awalnya membuat Divia besar kepala, ia sudah beranggapan bahwa pria itu jodoh yang Tuhan kirimkan untuknya yang akan memberikan setitik harapan untuknya, namun saat mendengar pria itu orang berada saat itu juga angan-angannya pupus, ia cukup sadar diri untuk tak berharap lebih jauh.

"Lagian dia orang Jepang, gak mungkin mau sama anak kampung kayak aku gini. Ke Jakarta aja belum pernah, mimpi banget bisa berjodoh sama dia."

Divia salah, ia di pertemukan untuk kedua kalinya dengan pria itu, "eh, mas masih di sini?" sapa Divia ramah, pertemuan keduanya kali ini bukan di sungai tapi di pasar yang di penuhi banyak pedagang dan pembeli, "eh, Divia, ya?" kerutan di dahi pria itu membuktikan bahwa ia mencoba mengingat-ingat wajah Divia yang tersenyum manis padanya.

"Iya, mas."

"Belanja? Sendirian aja belanjanya?"

"Iya mas, di panti saya anak perempuan yang paling besar." ujar gadis itu tersenyum manis.

"Mas beneran cinta sama kamu, ikut mas ke Jakarta, ya."

"Mas serius? Tapi aku cuma lulusan SMP, mas."

"Emang salah kalo kamu lulusan SMP?"

"Maaf mas, aku gak bisa, aku nggak mungkin ninggalin panti." Divia menolak tawaran menggiurkan itu.

"Kamu bilang gak suka tinggal di sini kan? Anak-anaknya bikin repot, ikut mas, ya?" akhirnya setelah di yakinkan berulangkali Divia mengangguk polos, anak kampung itu telah di racuni oleh mulut besar Hiro.

Divia menangis sesenggukan memandangi testpack di genggamannya, "pembohong! Kamu bilang bakalan nikahi aku, bajingan!"

"Untuk sementara waktu mau ya di rumahku dulu?" tawar Dian seraya mengusap-usap punggung Divia yang bergetar, dengan bibir yang juga bergetar gadis itu menggeleng, berulangkali telapak tangan itu menghapus kasar wajahnya.

Dian yang saat itu sudah berumah tangga bahkan memiliki seorang putra tak memungkinkan untuk ia menumpang hidup di sana, ia tak mau di jadikan buah bibir selama menumpang di sana, "aku balik ke panti aja, ya?"

Dosen & Gadis IdiotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang