Keributan itu tak dapat di elakkan, ketiganya saling berseteru berteriak murka, suara jeritan Divia lebih mendominasi ruangan, "dia bukan anakku! Bukan juga anakmu!" dengus wanita yang mengenakan daster di atas lutut tersebut.
"Buka matamu baik-baik, Divia! Lihat anak itu hidup sendirian di rumah orang asing," Divia tertawa sumbang mengabaikan air bening yang mencipta rasa hangat di kedua sudut matanya "seharusnya kau yang membuka matamu! Anak cacat itu ngga akan telantar jika kau mau menanggung perbuatanmu di masa lalu!"
"Dia ngga cacat!"
"DIA CACAT!" Haru berseru geram netranya yang sudah di banjiri air mata mendelik nyalang kearah sang ayah, "aku ngga mau papa bawa anak itu ke rumah ini, cukup lonte satu ini yang merusak keluarga kita! Anaknya bukan urusan papa, aku ngga mau pa, aku ngga mau punya saudara sedarah yang bukan terlahir dari rahim mama!"
"Haru! Jaga mulutmu!" bentak Hiro tak kalah berapi-api, "harusnya anak itu yang pantas berkata seperti itu kita semua ngga tau seberat apa kehidupan yang ia jalani tanpa orangtua di sisinya," nafas Hiro mulai tersendat-sendat, "tolong buka mata dan hati kalian, anak yang ngga tau apa-apa itu tetaplah bagian dari keluarga ini!"
"Dia bukan keluarga kita! Perempuan ini juga bukan bagian dari keluarga kita!" Haru mengarahkan jemari telunjuknya kearah Divia yang kini melempar tatapan penuh kebencian kepada gadis itu.
"Segitu sayangnya papa sama perempuan ini? Segitu sayangnya, pa? Sampai ngga ada lagi hak aku buat ngomong di sini, aku ini anak papa! Anak yang sah dari pernikahan yang juga sah!" murka Haru menghapus kasar air matanya yang tak mau berhenti mengalir layaknya air sungai.
Ketiga manusia dengan luka yang berbeda saling melempar tatapan kesakitan, "semasa mama masih ada, aku selalu berdoa supaya papa selalu ada di samping kami, selalu siaga menjaga mama,"
"Papa ngga pernah mikirin gimana perasaan aku setelah kehilangan sosok ibu yang dengan seenaknya menikah dengan wanita masa lalu papa ini!"
"Papa ngga pernah tanya apa aku bahagia punya mama baru!"
"Papa ngga mikir gimana perasaan aku setelah papa mengakui mati-matian anak cacat itu darah daging papa!" bibir gadis itu gemetaran, mengabaikan air yang mengalir dari lubang hidungnya ia kembali berkata, "cuma mama yang khawatir sama Haru, cuma mama yang peduli sama Haru."
"Papa juga khawatir sama kamu." gadis itu menggeleng menyangkal, "ngga ada lagi omongan papa yang bisa yakinkan aku."
"Aku ngga akan sudi datang di pernikahan anak itu!" suara Divia kembali menyela, "kalo kamu bersih keras mau melihatnya menikah pergi sendiri dan akui kaulah ayah ngga punya otak yang menyuruhku untuk melenyapkan!" Divia tersenyum miring, "jangan memaksaku untuk hadir di sana atau tanganku ini membunuh anak itu di depan matamu!" ancam Divia sinis raut wajahnya menunjukkan keseriusan.
Divia tersenyum sinis dengan tatapan tak lepas dari sosok lelaki di depannya, ia tak menyangka Hiro mencari tahu sosok 'anak cacat' yang mereka bahas kemarin. Ia terkejut setengah mampus saat suara Hiro meminta keduanya datang keruang tamu dan mulai membahas kalau ia sudah tahu apa yang keduanya sembunyikan.
"Karena dia bukan anakku!" ujar Divia menegaskan membuat Hiro meremas rambutnya yang sudah kusut total, "emang ngga punya otak kamu, Divia!"
Divia tiba-tiba tertawa keras, suara tawanya membuat ayah dan anak yang mendengarnya bergidik ketakutan, "jangan memancing amarahku, Hiro. Aku bukan wanita kampung seperti dulu yang bisa seenaknya kau injak-injak. Sekali lagi saja mulutmu itu mengatakan aku ngga punya otak, aku benar-benar akan menghabisi nyawa anak cacat itu, di depanmu di depan orang-orang yang menyayanginya!"
"Emang udah ngga waras kamu!" kecam Hiro tak habis pikir, telapak tangannya yang lebar memijat-mijat dahinya yang mulai berdenyut sakit.
"Semua kesalahanku di masa lalu jangan sampai membuat mata dan hatimu mati hingga nekat melampiaskan semua amarah di dadamu kepada anak itu."
Divia berdecak geram, "makanya jangan bahas anak itu lagi di depanku, kehadirannya hanya mengingatkanku betapa bodohnya aku di masa lalu yang mempercayai mulut bajingan sepertimu!"
"Aku ngga akan memaksa kalian berdua untuk hadir di pernikahannya nanti."
"Aku juga ngga mau papa turut hadir di sana." putus Haru menekankan, "karna dia bukan siapa-siapa di rumah ini, lupakan apapun yang papa omongin di rumah dosenku. Lupakan tentang anak cacat itu, biarkan dia hidup di sana."
"Haru, dia juga anak papa, kamu ngga tau betapa sesaknya dada papa saat tau ada saudara kamu yang hidup bersama orang asing, kamu ngga tau nak, Haru ngga akan ngerti betapa hancurnya hati papa saat anak itu memeluk ayah kandungnya ini!"
"Kita sama-sama terluka gara-gara perempuan ini dan anaknya!"
"HARU!" bentak Hiro keras membuat kedua perempuan di sana tersentak karena terkejut mendengar bentakan pria itu, "kalian semua terluka karena papa."
Haru tersenyum dalam tangisnya, mengabaikan ludah yang begitu banyak di mulutnya ia kembali berkata, "segitu ngototnya papa ngebela dia sama anaknya!"
Divia menarik nafas dalam-dalam, meneguk ludahnya sesaat seraya melirik sinis kearah anak gadis yang ingin rasanya ia cekik mati detik ini juga!
lacur kecil belum aja kau tau siapa aku.
"Besok kita bahas masalah ini, kepala papa sakit papa mau istirahat." putus Hiro sembari beranjak dari sana meninggalkan kedua wanita yang mengiringi kepergiannya dengan tatapan berbeda.
Haru menoleh kearah Divia mengamati eskpresi aneh yang wanita paruh baya itu tunjukkan, "senang kamu akhirnya anakmu di anggap sama papa?" cetusnya sarkas membuat seulas senyum terbit di bibir Divia yang malah kelihatan aneh di mata Haru.
"Setidaknya ngga ada yang membuatku khawatir, aku tak perlu hidup dalam ketakutan lagi." jawab Divia santai seraya meniup-niup kuku tangannya yang di cat indah, "toh anak itu memang darah daging ayahmu yang artinya dia juga saudaramu."
Haru tersenyum kecut, "aku sudah mengira kau hanya berpura-pura tak mau menerima anak perempuan itu di depan papa, hanya untuk membuatnya bersimpati betapa terlukanya kau di masa lalu, begitu?"
Divia menggeleng dramatis belum juga berhenti dari tingkahnya meniup-niup kuku tangannya, "kamu yang ngga tau apa-apa bisa apa."
Segitu gampangnya kamu menyalahkanku atas semua ini Hiro, kau bahkan tak peduli seberapa besar perjuanganku membesarkan anak itu sampai harus menjual selangkangan, tanganku ini yang akan membuatmu semakin terluka. Kau akan menerima kabar kematian anak yang baru kau ketahui itu.
Aku tak akan membiarkan kau menebus semua kesalahanmu Hiro, kau pantas hidup menderita selama masih bernapas di dunia ini.
Haru juga mulai beranjak dari sana meninggalkan Divia yang mulai kehilangan kewarasannya satu-persatu, wanita paruh baya itu tertawa keras di ruangan itu, menertawakan rencananya yang akan membuat Hiro hidup dengan penderitaan yang semakin besar.
Divia mengeluarkan nyanyian kecil dari mulutnya, kepalanya mulai bergoyang seiring nyanyian yang mengalir dari bibirnya, tanpa sadar ia mulai terobsesi menyakiti orang-orang di sekitarnya tak peduli sekalipun itu darah dagingnya sendiri, trauma di masa lalu membuat wanita itu berhasrat besar untuk melampiaskan rasa sakitnya kepada orang-orang yang membuat ia harus menghabiskan waktu yang cukup lama di rumah bordil.
Hiro, dan anak bisu itu.
Di ruangan lain, Haru juga merencanakan sesuatu yang akan membuat ayahnya menyesal seumur hidup jika sampai datang ke pernikahan anak yang sialnya lebih dulu ayahnya ketahui sebelum sempat ia bawa lari dari rumah dosennya.
"Papa bakalan nyesel ngga dengerin omonganku! Anak itu ngga akan pernah bahagia, pantesnya dia di buang ke rumah lacuran biar ngga ada bedanya sama mamanya!"
"Enak aja mau datang ke nikahan dia, emangnya dia siapa!" memutar bola mata malas dengan bibir tak berhenti mendengus geram.
"Cuma anak haram yang ngga pantes bahagia, mana mau nikah sama dosen. Dunia emang ngga adil banget ya, bisa-bisanya dosen tertarik sama anak cacat." ujarnya masih tak dapat mempercayai ucapan semua orang yang bersangkutan dengan anak perempuan bernama Alisie tersebut.
"Gue minta bantuan June aja kali, ya?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosen & Gadis Idiot
Roman d'amourMenumpang hidup di rumah orang asing membuat gadis penyandang disabilitas yang di buang ibunya merasa semua orang memiliki jiwa dan hati yang tulus karena di perlakukan layaknya manusia oleh Dian, wanita yang membawanya masuk ke dalam hunian wanita...