"Pak, lebih cepat lagi ya." Pinta Karin pada supir ojol yang tengah mengantarnya.
"Siap, Neng." Motor itu meliuk-liuk di antara padatnya jalanan. Lima menit setelahnya Karin turun dari boncengan, menyerahkan beberapa lembar uang kemudian berlalu setelah mengucapkan terima kasih.
Langkahnya begitu tergesa melewati tiap-tiap lorong yang ada. Matanya bergerak membaca nama ruangan yang Ia tuju. Dandelions - 1, dibukanya pintu itu dengan kasar. Karin terdiam, netranya fokus pada satu titik. Seseorang tengah terbaring lemah di atas hospital bed. Gadis itu menghampiri dengan perlahan. Matanya memanas kala melihat tubuh itu dari dekat.
"Hai," pandangan Karin mengabur. "Ke sini naik apa?" suara itu terdengar lemah. Detik itu tangis Karin pun pecah.
Ia menangis di hadapan tubuh yang terbaring dengan gips yang terpasang di tangan serta kaki kanannya. Juga jarum infus yang tertancap di punggung tangan kiri, dan baret di sekitar dagu serta pipi.
Seseorang mendekat, mengelus punggung Karin. "Gapapa. Ojannya gapapa kok." Ucap Mama Retno yang membuat Karin semakin sesenggukan.
Lelaki itu Fauzan. Beberapa jam yang lalu, tepatnya saat Karin sedang fokus pada kelas mata kuliahnya, Chenda mengirimi pesan bahwa Fauzan mengalami kecelakaan, kemudian dilarikan ke Rumah Sakit. Bodohnya Karin, ia mematikan daya ponselnya dan baru membaca pesan itu beberapa menit setelah kelas usai.
"Kaki... hiks... tangan l-lo hiks... ga-papa?" katanya di tengah tangis yang tak kunjung berhenti.
"Gapapa. Cuma gak bisa digerakin aja."
"HUAAA OJAAAN." Tangisnya semakin kencang. Karin tidak bisa membayangkan bagaimana posisi lelaki itu terjatuh, dan bagaimana rasa sakit yang tengah dirasakannya sekarang. Karin tidak sanggup.
"Gue gapapa, Rin." Fauzan berusaha menenangkan meskipun keadaannya memang terlihat mengkhawatirkan. Ingin sekali Fauzan merengkuh tubuh yang bergetar itu, tapi apa daya. Geraknya terbatas, tubuhnya terasa ngilu di beberapa bagian.
Butuh waktu yang lama untuk Karin menghentikan tangisnya. Meski masih tersengguk-sengguk. Ia berusaha untuk menghentikan laju air matanya. Gadis itu tak beranjak barang sebentar dari posisinya yang duduk di kursi dekat ranjang Fauzan.
"Mau apa Jan? Minum? Atau mau ke air?" pertanyaan itu sudah terlontar sejak beberapa menit yang lalu. Fauzan tersenyum, mengedipkan matanya perlahan, lalu menggerakkan tubuhnya, namun ringisannya keluar saat merasa sakit di tangan kanannya.
"Eh, eh. Kenapa? Sakit? Gue panggil dokter ya?" Karin panik, terlihat jelas dari sorot matanya.
"Enggak. Cuma mau duduk." Dengan sigap, Karin pun membantu menaikkan posisi bed di bagian kepala Fauzan.
"Minum?" Fauzan mengangguk. Karin membantu memegang gelas dan mengarahkan ujung sedotan ke mulut Fauzan.
"Mau apa lagi?" kali Ini Fauzan menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR STORY [END]
Teen FictionDimana ada Fauzan disitu ada Karin. Dimana ada Karin disitu pun ada Fauzan. Mereka itu ibaratkan amplop dan perangko. Padahal mereka bukan saudara kembar, bukan juga kakak beradik. Hanya saja, pertemanan yang sudah terjalin sedari kecil membuat ked...