Jangan lupa feedback nya yaaa!
***
Gadis dengan kebaya yang melekat erat di tubuhnya bersimpuh di depan pusara dengan tanah yang basah akibat terguyur hujan subuh tadi.
Jemari lentiknya mencabuti rumput-rumput yang menutupi gundukan tanah. Dituangkannya air mawar yang ia bawa, menaburkan bunga dan menaruh sebucket anyelir putih yang menjadi bunga kegemarannya.
Di usapnya nisan yang terdapat nama sang Ibu. "Udah cantik."
Karin mengadahkan tangannya. Memejamkan mata. Memohon pada Sang Pemilik langit dan bumi agar Ibu senantiasa bahagia, diberikan tempat terbaik di sisi-Nya.
"Ibu... Adek datang." Angin lembut menerpa wajahnya dan menerbangkan daun-daun kering di sekitarnya. Karin merasa seolah Ibu menyambut kedatangannya.
"Ah iya. Adek punya sesuatu buat Ibu." tangannya merogoh papper bag yang ia bawa. Sebuah kain selempang berbahan satin lengkap dengan ukiran namanya dan gelar yang ia dapat.
Karin lingkarkan selempang itu ke atas nisan sang Ibu. Dengan cepat, ia mengadahkan kepala bermaksud menghalau air matanya. Namun sia-sia, tangisnya pecah juga.
"Maaf. Padahal udah janji enggak akan nangis." Ucapnya sembari menghapus air matanya sendiri.
"Adek berhasil, Ibu lihat 'kan?" Karin tersenyum seraya menatap lekat ke arah nisan. Berharap Ibu hadir, dan melihat hasil kerja kerasnya selama beberapa tahun terakhir.
"Adek bahagia sekarang, Bu. Adek tepatin janji Adek ke Ibu ya?" monolognya disertai kekehan diujung kalimat.
"Terima kasih ya, Bu. Terima kasih untuk semua kasih sayang yang Ibu kasih ke Adek. Terima kasih sudah mau jadi Ibu yang hebat, teman yang setia, Adek beruntung bisa jadi anaknya Ibu."
Suara derap langkah terdengar semakin mendekat. "Assalamualaikum, Ibu."
Fauzan. Pria itu, ikut bersimpuh di samping Karin. "Dari tadi Ojan disuruh nunggu di parkiran, Bu. Enggak boleh nemenin, ternyata pas disusul lagi nangis." Adunya.
"Cengeng!" Karin mendelik, lalu memukul bahu Fauzan meski tidak keras mampu membuat Fauzan oleng.
"Galak juga."
"Ojan nyebelin banget 'kan ya Bu?"
"Ngaduan lagi."
"Ih! Rese!"
Fauzan tertawa. Kemudian berdeham sejenak, sebelum meminta maaf, dan lanjut mengobrol dengan Ibu.
Lelaki ini, dia benar-benar menepati janjinya untuk selalu berada di sisi karin. Menggenggam tangannya agar tidak jatuh terperosok terlalu dalam. Memberikan pelukan hangat sebagai penenang. Merapalkan mantra-mantra yang mampu membuat Karin lupa dengan segala sedihnya. Fauzan menepati janjinya.
"Hari ini, hari bahagianya Karin. Dia berhasil selesaikan studinya, Bu. Keren banget ya, anak Ibu. Ojan bangga banget! Ibu juga pasti bangga 'kan ya?"
"Setelah ini, izinkan Fauzan untuk terus jaga Karin ya, Bu. Meskipun Fauzan gak bisa jamin seratus persen akan kasih kebahagiaan buat dia. Tapi, Ojan akan berusaha. Terima kasih sudah lahirkan Karin ke dunia ya, Bu. Terima kasih sudah jadi Ibu yang hebat dari seorang putri yang juga hebat."
Karin kembali berkaca-kaca. Hatinya menghangat mendengar semua kalimat yang Fauzan ucapkan.
"Jangan nangis," pinta pria itu.
"Ah, iya. Sebentar." Ada jeda beberapa saat. "Mumpung ada Ibu," Fauzan merogoh seseuatu di kantung jas yang ia kenakan hari ini.
Sebuah kotak beludru berwarna merah sudah berada di genggamannya. Siapa pun juga pasti sudah tahu apa yang ada di dalam kotak itu.
Sebuah cincin. Dengan berlian kecil di tengah, menambah kesan manis dan cantik.
"Ini mungkin akan jadi lamaran paling enggak romantis," kekeh Fauzan, "tapi aku suka yang antimainstream."
"Di sini, di depan Ibu. Aku pengen ajak kamu buat hidup bareng aku, sampai Tuhan panggil salah satu diantara kita."
"Aku bisa bantu kamu beres-beres rumah, bisa cuci baju, masak juga aku jago. Oh, iya! Aku juga pandai mandiin bayi, gantiin popoknya juga bisa."
Ada tawa kecil yang keluar dari bibir Karin saat Fauzan mengatakan hal itu.
"Intinya, mau gak nikah sama aku?"
Ini, beneran?
Fauzan ngajak dia nikah?
Di tengah-tengah pemakaman yang sepi?
Wow!
Tak habis pikir.
"Bu! Lihat! Masa Karin-nya diem aja." Protes Fauzan karena tak kunjung mendapat jawaban.
"Kamu... serius?"
"Enggak! Boongan ini mah, boong!"
"Oh. Yaudah."
"Ya benaran dong! Karin Madali anaknya Almarhumah Ibu Susi! Ya Allah gusti nu agung!"
"Yaudah."
"Yaudah naon?!!"
"Jangan ngegas atuh!"
"Ya kamu jawabnya gak bener gitu."
"Iya. Mau."
"Mau apa?"
"Mau makan cilok Mang Udin, deh. Beli yuk?"
Fauzan mengusap wajahnya kasar. "Rin..." tatapnya memelas.
Karin tersenyum. Menangkup kedua pipi pria itu. "Iya, mau. Aku mau jadi istri kamu. Ayo, nikah."
Senyum Fauzan merekah sempurna.
"Tapi, Jan."
"Kenapa?"
"Kamu lamar aku, di kuburan banget nih?"
"Gapapa, berani beda itu keren, Sayang."
***
Siap-siap kondangan yaaa. Hehe.
Hari ini seharusnya jadi hari bahagia buat Dreamies sama Sijeuni kan ya? Mau nangis, boleh enggak sih?? beneran sedih banget dan jadi malas buat buka sosial media. Tapi setelah dipikir, mereka pasti jauh lebih sedih dari kita, kan?
Seperti yang Jisung bilang, hidup itu enggak selalu berjalan sesuai dengan yang kita rencanakan. Mereka sudah planing dari jauh-jauh hari, bahkan mungkin bulan. Tapi, takdir berkata lain. Semesta belum mau membiarkan mereka bahagia tanpa formasi lengkapnya.
Enggak apa-apa ya? Aku yakin banget, bakal ada banyak hal-hal besar yang akan datang buat Dreamies ke depannya. Kita harus selalu dukung mereka dan jangan pernah putus do'a buat Mark sama Renjun, semoga lekas sembuh dan membaik.
Kalian juga, jaga kesehatan ya. Lope badag.
D A H 💚
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR STORY [END]
Teen FictionDimana ada Fauzan disitu ada Karin. Dimana ada Karin disitu pun ada Fauzan. Mereka itu ibaratkan amplop dan perangko. Padahal mereka bukan saudara kembar, bukan juga kakak beradik. Hanya saja, pertemanan yang sudah terjalin sedari kecil membuat ked...