OUR STORY (48)

1.4K 157 7
                                    

Hai! Apa kabar?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hai!
Apa kabar?



***


Keesokan harinya. Pagi-pagi sekali, Karin ditemani Fauzan sudah berdiri menjulang di depan pintu rumah yang beberapa hari terakhir tidak pernah ia datangi.

Entah bagaimana kondisi di dalam, bagaimana rupa pria yang menempati rumah ini. Apa Karrel baik-baik saja? Apa laki-laki itu menjaga dirinya dengan benar? Makan dengan teratur? Semoga saja setelah Karin masuk kabar baik yang ia lihat.

Fauzan mendorong pintu yang ternyata tidak di kunci itu secara perlahan. Degup jantung yang berdetak kencang tak dapat Karin hindari. Rasanya, sudah begitu lama ia tak bertemu Karrel.

Krekk.

Pandangannya turun pada sebuah botol yang tak sengaja ia injak. Matanya memendar, melaser tiap sudut ruangan yang begitu berantakan, seperti tidak berpenghuni.

Karin terus berjalan, hingga langkahnya terhenti tepat di dapur. Helaan napasnya keluar begitu melihat tempat itu tak jauh berbeda dengan ruangan depan.

Jika begini, Karin tak yakin Karrel baik-baik saja.

"Kita ke atas, yuk. Cari Aa dulu," Fauzan menginterupsi, kemudian meraih tangan Karin untuk digenggam, dan menaiki tiap undakan tangga.

Tiba di depan kamarnya, Fauzan langsung menari knop pintu yang lagi-lagi tidak terkunci.

Karin meringis. Ceroboh sekali, pintu utama tidak dikunci, bagaimana jika ada maling masuk? Lalu berbuat jahat pada Kakaknya.

Gelap.

Begitu pintu terbuka hanya kegelapan yang dapat terlihat. Karin bergerak menyalakan lampu. Hidungnya mengernyit begitu mencium aroma rokok yang begitu pekat.

"Aa?!!"

Karrel tergelatak di atas tempat tidur dengan kondisi yang tak dapat ia jelaskan.

"Aa?! Bangun, A! Ini Adek! Aa?!"

Panas. Badannya panas sekali.

"Ojan! B-badannya Aa, panas banget." Ucapnya sambil terisak.

"Biar aku yang urus Aa. Kamu hubungi dokter Fakhri ya."

Karin menurut, memegang ponselnya dengan tangan gemetar. Semua ini terasa de javu baginya. Saat itu, ia pun dihadapkam dengan situasi seperti ini.

Tidak. Tuhan, tolong, jangan lagi.

***

Hampir tujuh jam lamanya, pria yang lahir di dalam rahim yang sama dengan Karin belum juga sadarkan diri. Selama itu pula, ia terus berada di sisi sang Kakak.

Dokter bilang, Karrel kurang tidur. Dehidrasi, dan ada sedikit luka di lambungnya akibat makan yang tidak tepat waktu juga terlalu banyak mengonsumsi makanan cepat saji.

Fakta itu lagi-lagi membuat Karin menangis. Rasa bersalah dan takut menyerang secara bersamaan.

"A... Ini Adek, ayo bangun," tangannya dengan setia menggenggam tangan Karrel. "Maaf, Adek minta maaf," lirihnya.

"Ayo bangun. Aa gak akan tinggalin Adek 'kan?"

Tubuh Karin tersentak kala merasakan pergerakan dari jari-jemari yang ia genggam. Netranya beralih ke wajah Karrel, kelopak mata pria itu terbuka perlahan.

Karrel melenguh, menyipitkan matanya untuk menyesuaikan pandangan.

"Karin?"

"Hmm."

"Ini, Karin?"

"Iya, ini Karin. Ini Adek, A."

Karrel lantas langsung memeluk Karin. Tak peduli dengan kepalanya yang terasa berdenyut. Yang ia inginkan saat ini adalah memeluk sang Adik. Mendekap hangat tubuh adik kecilnya.

"Adek pulang." Lirihnya.

"Iya, Adek pulang."

"Aa minta maaf. Maafin Aa ya? Jangan pergi lagi, Dek. Aa butuh kamu."

"Enggak. Aa gak salah. Aku yang salah. Adek egois. Enggak mikirin perasaan Aa. Maaf. Maafin Adek ya, A?"

Karin melepaskan pelukan. Ditatapnya sang kakak yang menunduk. Sesekali terisak pelan. Karrel menangis.

"Aa maaf ya? Maaf karena Adek selalu pengen dimengerti. Maaf kalau Adek selalu bikin Aa repot. Aa pernah bilang. Jangan sakit sendirian. Sekarang, Adek minta bagi sakitnya sama Adek ya A?" Tangannya bergerak mengusap pipi Karrel. Membuat pria itu mendongak.

Karin tersenyum. "Ibu udah bahagia disana 'kan A? Adek, insyaallah ikhlas."

"Sekarang, kita perbaiki semuanya ya? Adek gak mau lihat Aa kayak gini lagi. Adek cuma punya Aa. Aa jangan pernah pergi ke mana-mana, ya?"

Karrel mengangguk cepat. Kemudian kembali menarik Karin ke dalam dekapanya.

"Adik kecil Aa. Sekarang sudah dewasa ya? Maaf untuk kata-kata kasar yang kemarin Aa ucapin. Maaf karena Aa bikin kamu ketakutan. Makasih ya, makasih karena Adek sudah berani. Makasih sudah mau jadi Adeknya Aa."

"Makasih juga sudah mau jadi Aa-nya Adek."

Ibu, lihat. Adek bisa kan bu?

Ibu, semoga Aa bisa pegang tanggung jawab ini ya, bu? Terima kasih sudah jadi Ibu terhebat.

Sudah cukup sedihnya. Setelah ini Karin hanya ingin tersenyum dan berdamai dengan semuanya.

Bagaimanapun kematian itu adalah hukum alam yang tidak dapat dilawan. Manusia tidak bisa diberikan kesempatan untuk menawar. Yang bisa Karin lakukan sekarang adalah ikhlas, terima dan melanjutkan hidupnya, bersama dengan cinta yang Ibu tinggalkan.

Takdir Tuhan itu tidak pernah salah. Kita hanya perlu ruang untuk menerimanya.




***


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Sehat selalu. Lope badag.
D A H 💚

OUR STORY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang