OUR STORY (26)

1.2K 148 29
                                    

Happy weekend oolllll

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Happy weekend oolllll


***


"Gimana keadaan Lo?"

"Seperti yang lo lihat."

Ini salah. Ide untuk mempertemukan keduanya ternyata salah. Karin menghembuskan napasnya saat melihat interaksi kedua pria itu. Kaku.

"Mau minum, Ko?"

Ricko menggeleng, pria itu mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. "Kalian cuma berdua di sini?"

"Kenapa?"

"Gak boleh berduaan dalam satu ruangan. Nanti yang ketiganya setan."

Fauzan tersenyum miring mendengar itu. "Bener. Dan setannya elo."

Ricko menatap datar ke arah Fauzan. "Gue gak mau ngajak lo ribut." katanya.

"Gue juga lagi gak bisa ribut sih. Nih, gak liat tangan kaki gue diperban?" timpal Fauzan dengan santainya. "Lagian ngapain lo kesini? Ganggu waktu istirahat gue aja."

"Gue kesini bukan mau jengukin Lo."

"Gue juga ogah dijengukin Lo."

Karin menatap cengo pada dua orang di depannya. "Kalian, kenapa?"

Fauzan dan Ricko kompak menoleh. "Gak papa." 

"Ih barengan!" serunya sembari bertepuk tangan. "Gini dong. Kalian harus sering akur ya." Tambah Karin yang mana membuat kedua pria itu menatap penuh heran ke arahnya.

Ricko menghela napasnya, kembali menatap Fauzan. "Gue mau bawa Karin keluar." Itu sebuah informasi bukan meminta izin.

Mendengar itu, Karin memelototkan matanya. "Kemana?"

"Antar beli kado buat mamaku."

"Lho. Kan waktu itu aku bilang—"

"Sebentar. Sebentar aja, ya?"

Karin beralih menatap Fauzan yang ternyata tengah menatapnya balik. "Nanti Ojan sendirian di sini, Ko."

Ricko berdecak pelan. "Lo bisa kan sendiri?"

Ingin sekali Fauzan menggelengkan kepalanya. Memberi tahu bahwa ia tidak ingin Karin pergi. Tapi, ia tidak boleh egois. "Pergi aja, Rin. Gapapa gue mah."

"Ojan!"

"Beneran. Sok sana, bisi keburu hujan. Lagian Mama juga kan nanti mau ke sini." ungkapnya meyakinkan Karin.

Lantas tanpa banyak bicara lagi Ricko langsung meraih tangan Karin. Kemudian membawanya keluar bersama. Tanpa, meninggalkan sepatah kata pun pada Fauzan.

Gapapa, Jan. Karin gak bisa seterusnya sama Lo.

.

.

.

"Kok gini sih, Ko?"

Ricko terdiam. Fokus pada tuas kemudi. Mereka sudah dalam perjalanan.

"Kalo aku nanya tuh jawab!"

Ricko menoleh sesaat. "Kalo gak kayak gini. Kamu gak akan punya waktu buat aku. Buat kita."

"Tapi kan keadaannya beda, Ko. Fauzan butuh aku."

"Fauzan itu lebih penting dari pada aku? Iya?" Karin bungkam. Lidahnya kelu. Tak bisa bersuara untuk sekedar menjawab pertanyaan itu.

Ricko menepikan mobilnya.
"Harusnya aku yang lebih berhak atas waktu kamu. Harusnya kamu bisa kasih waktumu buat aku."

"Fauzan ini, Fauzan itu, Fauzan yang begini, Fauzan yang begitu." Ucap Ricko lagi. "Kamu apa gak sadar? Kamu selalu begitu tiap bareng aku," keluar sudah. Kalimat yang selama ini ditahan ia ungkapkan secara gamblang.

Iya. Karin memang selalu menyempatkan waktunya jika Ricko meminta bertemu. Tapi, selalu ada Fauzan di dalam topik pembahasan mereka. Tubuh Karin memang ada di hadapannya. Tapi pikiran gadis itu tidak berfokus padanya. Sudah lama Ricko menyadari akan hal itu. Dan hari ini, sepertinya ia sudah tidak bisa berdiam diri lagi.

Karin membisu. Pikirannya berkecamuk saat mendengar pengakuan pacarnya itu. Jika memang benar, itu artinya ia sudah jahat pada Ricko, bukan?

"Kalau, aku minta kamu buat jauhin Fauzan, gimana?" Karin mengangkat kepalanya. Menatap Ricko dalam.

"Kenapa? Gak bisa?"

Melihat Karin yang hanya diam saja Ricko membuang mukanya sambil berdecih pelan. "I see," gumamnya.

"Ko, kenapa gini? Dari awal kamu udah tau kan aku sama Fauzan kayak gimana?"

Ricko mengangguk. "Tapi, gue gak bisa kalo gini terus, Rin." Ah, gaya bicaranya sudah kembali sepertu semula. "Udah ya?"

"Gue ini maunya jadi prioritas. Tapi kayaknya gue gak bisa dapetin itu dari Lo."

Karin paham. Ia memang tidak bisa menjadikan pria ini prioritasnya.

"Alasan gue ngajak Lo keluar buat bilang ini." Ada jeda sebentar sebelum pria itu lanjut berbicara. "Gue harap, Lo bisa bahagia, Rin. Entah itu sama Fauzan atau yang lain."

Karin mengangguk. Jadi... sudah ya? Mereka selesai sampai di sini?

"Ka—Lo juga. Maaf kalau bareng gue, lo harus ngerasain sakit. Maaf."

"Gak usah minta maaf. Lo baik, gue seneng bisa kenal Lo." Karin mengangguk dengan senyum tipisnya. "Habis ini Lo mau ke suatu tempat dulu atau mau langsung pulang?"

"Em, gue turun di sini aja."

"Oke. Gue anter pulang kalo gitu." Tidak menghiraukan ucapan Karin, Ricko pun menarik pedal gas, dan memacu mobilnya ke arah rumah gadis itu.

Perjalan kali ini berbeda dengan sebelumnya. Biasanya mereka banyak berbicara, tapi kini keduanya seolah sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tiga puluh menit kemudian mobil itu terhenti di pelataran rumah Karin.

"Makasih ya. Emm, sekali lagi maaf."

"Gue bilang gak usah minta maaf. Jaga kesehatan ya, dan," Ricko terdiam sejenak, memperhatikan raut wajah Karin. "Gue harap, Lo bisa lebih jujur sama perasaan Lo."

Untuk terakhir kalinya, tangan Ricko mengusak lembut rambut Karin sebelum membiarkan gadis itu keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke rumahnya.

Sesampainya di kamar, Karin menghempaskan tubuhnya. Menyembunyikan wajahnya ke atas bantal. Tak terasa, tetes demi tetes air terjatuh dari pelupuk matanya. Ternyata rasanya sakit juga. Bukan, Karin menangis bukan karena putus dengan Ricko. Ia hanya... merasa bersalah dan terlalu jahat pada Ricko, pada dirinya sendiri.

Karin memang menyayangi Ricko. Namun, jika kalian ingin tahu. Rasa sayangnya pada Fauzan jauh lebih besar. Atau bahkan bukan sebatas rasa sayang, tapi ada rasa yang lebih dari itu. Hanya saja, Karin buta dan takut sama seperti halnya Fauzan. Kedua insan itu, memiliki rasa yang sama. Tapi terlalu takut untuk berbicara dan tidak siap jika harus kehilangan satu sama lainnya.

Harus jujur sama perasaan Lo.

Perkataan itu begitu memenuhi otak kecil Karin. Entahlah, apa ia bisa berkata jujur atau tidak.


***

Putus. Senang kan klean?
Maapin ya kalo alurnya gak jelas heuheuheu.

Jangan lupa tinggalkan jejak yaaa.

Jaga kesehatan. Lope badag
D A H 💚



OUR STORY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang