OUR STORY (46)

1.3K 178 3
                                    

Jangan jadi pembaca ghaib yaaaa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jangan jadi pembaca ghaib yaaaa.

Yang belum follow. Ada masalah apa? Sok sini ngobrol sama akuuu!

***



Angin yang masuk melalui celah jendela menerbangkan rambut-rambut kecilnya. Biasanya, Ibu akan menemaninya duduk di dekat jendela kamar, melihat senja pulang ke peraduan sembari mengelus lembut tiap helai rambutnya.

Ibu, Adek ini anak nakal ya?

Ibu... kenapa pergi ninggalin Adek?

Nanti, Adek sama siapa, Bu?

Ibu... Ayah... kenapa kalian ninggalin Adek?

Brakk!

Brugh!

Suara berisik itu menarik fokus Karin. Penasaran, ia pun keluar dari kamarnya mengikuti arah suara yang ternyata berasal dari kamar Ibu.

"Barang-barang Ibu mau dibawa ke mana?" Karin berlari menghampiri Karrel yang sedang mengemasi beberapa barang milik Ibu.

"Buang."

"Jangan!"

"Jangan, A!"

Ia bergerak merebut semua barang yang ada di genggaman Karrel.

"Jangan sentuh barang-barang Ibu."

"Kenapa? Buat apa semua ini? Hah?!"

"A-aku butuh semua ini."

"Balikin. Sini."

Karin menggeleng. Memeluk erat-erat baju itu. "Enggak!"

"Itu cuma bikin kamu tambah sakit, Karin!"

"Nurut sama Aa. Sini, lepas!" Karrel menarik dengan paksa, membuat Karin hilang keseimbangan dan terhuyung ke belakang.

"Aa gak akan ngerti!"

Pergerakan Karrel terhenti, beralih menatap Karin yang sudah mengeluarkan air matanya.

"Apa? Apa yang Aa gak ngerti dari kamu? Perasaan kehilangan? Kamu lupa? Di sini, bukan cuma kamu yang kehilangan Ibu!" Ucap pria itu menggebu-gebu.

Dengan tatapan mata yang memerah juga napas yang memburu, Karrel kembali menatap sang adik.

"Lihat! Yang bisa kamu lakuin sekarang cuma nangis. Nangis terus. Mau kamu nangis sampai mati pun, gak akan bikin Ibu balik lagi! Jangan egois!!"

"KARREL!!"

BUGH!

Semuanya terjadi secepat kilat. Sambaran yang mengenai pipinya sukses membuat Karrel tersadar.

Fauzan menarik kerah baju yang dikenakan Karrel. Menatap nyalang lelaki itu. "Dia adik lo! brengsek!"

"Jan—"

BUGH!

"Mikir, Rel! Sadar! Bisa-bisanya lo ngomong gitu ke Karin?!"

Fauzan kalap sebab ia menyaksikan semuanya. Bagaimana Karrel membentak Karin, bagaimana pria itu melontarkan kalimat-kalimat jahatnya. Itu semua membuat Fauzan sakit sekaligus marah.

"Jangan temuin Karin sebelum lo sadar atas apa yang udah lo perbuat."

Dihampirinya Karin yang terduduk di atas lantai. Membawanya menjauh dari Karrel. Menuju rumah miliknya. Memberi waktu pada kedua kakak beradik itu untuk saling menenangkan diri.

Ia tidak habis pikir dengan Karrel. Jika dia terlambat datang, entah apa yang akan terjadi.

"Minum dulu."

Karin menerima gelas, lalu meminumnya dalam beberapa tegukan.

"Ada yang sakit?" tanya Fauzan lembut. Saat ini mereka sudah berada di dalam kamar pria itu.

Karin terdiam. Kejadian tadi benar-benar membuatnya ketakutan. Yang ada di pikirkannya sekarang adalah Karrel yang membentaknya.

Pria itu, marah padanya.

Karrel sudah lelah hidup bersamanya.

Dan... setelah ini, Karrel akan pergi.

Dia akan pergi seperti halnya Ibu yang meninggalkannya, Ayah yang sudah tidak lagi peduli padanya.

Kemudian Karrel pun pasti akan menyusul.

Membiarkannya. Ditinggalkan sendirian.
   
Kepalanya terasa penuh dan berdenging. Hingga tak sadar, Ia telah menarik rambutnya sekuat yang ia bisa.

"Sayang, lepas. Nanti sakit."

Perlahan, Fauzan melepaskan tangan gadis itu dengan paksa, lalu mengungkung tubuh itu agar berhenti menyakiti dirinya sendiri.

"Pukul aku."

"Lampiasin semua sakit kamu ke aku."

"Jangan gini, Sayang. Aku mohon."

"Jangan sakitin diri kamu."

Suaranya bergetar ketika mengucapkan tiap-tiap kalimat itu. Seperti ada ribuan jarum yang tertancap dihatinya melihat Karin yang berusaha terus menerus menyakiti diri.

Fauzan pun sakit.

Dielusnya lembut surai hingga punggung yang masih terus bergetar.

"Everything's gonna be okay, Sayang. Don't hurt yourself."

Kalimat yang selalu dibisikan oleh Fauzan agaknya sukses membuat Karin tenang secara perlahan. Kini, hanya ada isak yang terginggal.

Karin melepaskan pelukan, menatap lama pada Fauzan. Pertanyaan serupa muncul di benaknya.

Apa Fauzan juga akan pergi meninggalkannya?

Pria ini, bisa saja lelah seperti Karrel bukan? Lelah menghadapi dirinya yang tidak bisa berdamai dengan semuanya.

Fauzan....

"Aku di sini. Aku gak akan kemana-mana. Okay? I'm here."

Janji?

"Aku janji."

.

.

.

Rumah itu kini sunyi, seolah tidak ada kehidupan yang berarti. Hanya tersisa Karrel yang terdiam bersama rasa bersalahnya.

"Aaarggh! Brengsek!

Prang!!

Cermin di hadapannya pecah. Menyisakan darah yang bercucuran dari buku-buku tangannya.

Karin....

Bagaimana bisa ia berkata sejahat itu pada adiknya?

Brengsek! Bajingan!

Mungkin, setelah ini Karin akan membencinya. Mungkin setelah ini, Karin tidak akan membutuhkannya lagi.

Dapat Karrel ingat tatap mata Karin yang menyiratkan ketakutan bercampur dengan rasa kecewa.

Bodoh! Benar-benar bodoh.

Kedua kakinya sudah tak mampu lagi untuk menopang. Tangisnya keluar seiring dengan segala sumpah serapah yang ia keluarkan untuk dirinya sendiri.

Karrel rapuh.

Pria itu runtuh.

"Ibu... maaf."

"Aa gagal, Bu. Maaf."


***

Ada yang mau puk-puk A Arel gaaak?




Sehat selalu. Lope badag.
D A H 💚

OUR STORY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang