OUR STORY (43)

1.2K 164 2
                                    

Kalau bisa, sambil dengerin ini ya!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau bisa, sambil dengerin ini ya!

Bacanya pelan-pelan ajaaa. Jangan terburu-buru.

Enjoy!

***

"Tolong, bantu Ibu sembuh."

Lelaki yang beberapa jam lalu menyetujui ajakan untuk bertemu masih tetap bergeming.

Tak ada suara yang dikeluarkan.

"Aku mau Ibu sembuh, Yah." Suaranya sendu. Penuh permohonan.

Meski Karin tahu, tak banyak upaya yang bisa dilakukan mengingat kondisi Ibunya sekarang.

Pria itu bergerak. Menatap putrinya yang menundukkan wajahnya.

"Kalau Ayah gak bisa. Lakuin itu demi aku."

"Aku masih butuh Ibu, Yah."

"Ayah gak bisa menjamin."

Karin mendongak. Menatap manik mata sang Ayah.

"Maaf."

"Ayah... masih sayang Ibu, kan?"

"Ibumu, bukan tanggung jawab Ayah lagi."

Benar. Kalimat it seratus persen benar. Namun, entah kenapa Karin sulit untuk menerimanya.

Ia lupa pada kenyataan bahwa Ayah dan Ibunya sudah lama selesai.

"Ayah bisa bantu carikan dokter yang berpengalaman."

"Terima kasih." Ya, apalagi yang bisa Karin lakukan jika sudah begini.

"Nanti, kalau sudah—"

Kalimat itu terhenti oleh bunyi dering dari ponsel Karin. Dengan cepat ia raih ponselnya.

Nama Karrel terpampang nyata.

"Dek! Ke ruangan sekarang! Ibu—"

Tutt!

Tanpa berpamitan. Karin berlalu begitu saja. Kakinya berlari tunggang-langgang dengan perasaan takut yang begitu besar.

Ibu... tunggu Karin.

.

.

.

Setiap hari, selalu ada pengharapan yang Karin panjatkan. Ia hanya ingin Ibu bangun. Sembuh. Kembali bersamanya. Itu saja.

Namun, agaknya do'a-do'a itu tidak sampai pada Sang Pencipta.

Rasanya baru tadi malam Karin merasakan kebahagiaan saat Ibu tersadar. Memanggil namanya dan memberikan pelukan hangat seraya membelai lembut permukaan surainya. Dan tak lupa juga senyum manis yang selalu terpatri di wajah Ibu.

Pagi ini, tepat pukul 10.00, seluruh alat yang menempel di tubuh sang Ibu dilepaskan dengan berat hati. Tidak ada kesempatan. Tidak ada keajaiban.

Tubuh itu kini terbujur kaku.

Tak ada bunyi detak yang biasa Karin dengar meski itu dari mesin pembantu.

Tak ada tangan hangat yang selalu ia genggam erat.

Ibu... pergi.

Dan tak akan pernah kembali.

Tak banyak yang bisa Karin lakukan selain meringkuk di sudut ruangan. Memeluk dirinya sendiri.

Bahkan setelah proses pemakaman yang Karin sendiri pun tak ikut menghadiri karena nyatanya Ia tak sekuat itu untuk menyaksikan tubuh yang orang lain sebut dengan Jenazah itu dimasukkan ke dalam liang lahat. Karin tak akan pernah sanggup.

Di dalam kamar yang semerbak akan aroma rosemary yang berasal dari humidifier. Wangi favorite Ibu. Karin memeluk erat potongan baju milik wanita kesayangannya.

Aromanya masih sama.

Tak terasa, lelelan air matanya kembali meluncur. Ah tidak, bahkan sejak awal. Air mata itu tidak pernah mengering.

Masih jelas teringat, Karin kecil yang selalu menangis merecoki Ibu di setiap paginya. Karin kecil yang merengek minta dibelikan sesuatu. Karin kecil yang selalu main hujan tanpa mengindahkan larangan sang Ibu.

Ibu yang mengajarinya bagaimana caranya berbicara. Merangkak, berjalan, berlari, sampai kini, ia bisa menentukan jalannya sendiri.

Ibu yang dengan senang hati menyiapkan telinganya untuk mendengar cerita-cerita random yang Karin alami.

Kini, semua itu hanya menjadi kenangan dan cerita di balik sampul buku diary.

Lantas setelah ini, Ia harus apa? Bagaimana hidupnya? Apa ia bisa berjalan kembali?

Rasanya untuk merangkak pun Karin tak akan sanggup.

Barangkali Karin lupa bahwa hidup di dunia hanya bertamu saja. Dan kematian itu sudah pasti kedatangannya.

Namun melepaskan seseorang yang sudah lama menjadi bagian hidup kita pun tidak akan semudah itu. Tidak ada yang akan baik-baik saja perihal kehilangan.

Karin hanya sedang jujur pada dirinya sendiri. Bahwa ia tidak baik-baik saja.

Runtuh. Dunianya runtuh.

Derit pintu terdengar. Ketukan sepatu yang beradu dengan lantai menggema di dalam ruangan dengan cahaya yang temaram.

Perlahan namun pasti. Langkah itu semakin mendekat. Sampai Karin rasakan usapan lembut di sekitar rambutnya. Lalu turun ke pundaknya.

"Adek. Ini, Aa." Ada getar di sana. Hanya mendengar suara itu, membuat air mata Karin mendesak meminta dikeluarkan.

Tanpa banyak berkata Karrel meraih adiknya ke dalam pelukan hangat. Tangis itu semakin pecah. Karrel merasa seperti ada sayatan belati di dalam hatinya.

Hingga tak terasa, air matanya pun ikut turun. Mereka tergugu bersama.

Karin semakin mengeratkan pelukannya. Menyalurkan semua rasa sakit yang ada.

Kini, ia hanya memiliki Karrel. Pun sebaliknya. Mereka hanya memiliki satu sama lain.

"Aa... Ibu... hiks!"

"Iya. Ikhlas ya. Ibu sudah enggak ngerasain sakit lagi. Ibu sudah bahagia di sana."

"Hiks... Hiks..."

"A-adek cuma punya Aa. J-jangan tinggalin Adek."

Karrel mengangguk sambil mempererat dekapannya. Tanpa diminta pun ia pasti akan terus membersamai Karin. Meski mungkin jalannya akan tertatih-tatih.

"Jangan sedih sendiri. Jangan sakit sendiri. Bagi semuanya sama Aa, ya."

Lalu hanya tangis yang mengisi kekosongan itu. Mereka berduka. Dua anak itu sedang meratapi hilangnya sumber kebahagiaan mereka.

***

Untuk yang orangtuanya masih lengkap, hargai waktu bersama selagi mereka masih ada yaaa. Untuk yang sudah kehilangan. Jangan pernah putus kirimkan do'a. Sedih sesekali enggak apa-apa. Tapi, jangan lama-lama!

Untuk yang sudah vote dan komen. Terima kasih banyak. Sayang kalian!

Sehat selalu ya. Lope badag.
D A H 💚

OUR STORY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang