Ayo tunjukkan eksistensi kalian. Jangan jadi pembaca gaib yaaa!***
Setelah pulang dari healing bersama teman-teman yang lain, hari-hari belakangan, Karin kembali menjalani rutinitasnya menjadi seorang mahasiswi. Ia kembali masuk kuliah setelah mengajukan cuti beberapa bulan.
Tak sedikit ucapan bela sungkawa yang ia terima ketika berpapasan dengan teman satu kelas yang mengetahui tentang kepergian mendiang Ibunya. Tapi sekarang, Karin sudah bisa menerima. Tidak ada rasa sesak di dalam dada tiap kembali mengingat sang Ibu.
Itu artinya Karin bisa 'kan? Iya sudah berhasil keluar dari lingkaran awan mendung yang mengungkungnya selama ini.
Ada satu kalimat yang selalu ia ingat dari dokter konsultannya. Beliau bilang, kalau semesta enggak baik sama kamu. Setidaknya, kamu harus tetap baik sama dirimu sendiri.
Dan Karin tengah mencoba itu. Ia tidak ingin membawa dirinya terus-menerus dalam keterpurukan. Tidak mau melukai dirinya lagi.
Ia akan bertahan dan melanjutkan apa-apa yang sempat tertunda. Dan semoga, berakhir dengan bahagia. Semoga.
"Sayang!" lamunannya buyar saat mendengar suara yang muncul dari samping kiri.
Fauzan, pria itu entah sejak kapan datang dan duduk di sisinya. "Udah beres kelas 'kan?"
"Udah."
"Jadi enggak ketemu Ayah?"
"Jadi."
"Yaudah yuk. Bisi keburu hujan."
Fauzan bangkit, begitu pun dengan Karin. Keduanya melangkah menuju parkiran dimana motor pria itu berada. Kemudian melaju ke salah satu kafetaria untuk menepati janji yang sudah di buat.
Salah satu upaya Karin untuk bangkit adalah menyelesaikan semua yang belum usai. Salah satunya, bertemu dengan ayah. Tidak bisa disebut masalah besar juga sebenarnya. Karin hanya ingin berdamai dengan semuanya.
Semenjak kepergian sang Ibu, Karin sudah tidak pernah bertemu dengan Ayahnya. Banyak yang harus dibicarakan.
Sampai di tempat tujuan. Tanpa ditemani Fauzan—dengan alasan pria itu tidak ingin menganggu— Karin masuk ke dalam tempat di mana dapat ia lihat seorang pria yang sudah tak lagi muda, tengah terduduk seorang diri di ujung ruangan yang cukup jauh dari keramaian.
Karin melangkah semakin dekat. "Ayah," panggilnya yang membuat pria itu menoleh.
"Eh, hai. Ayo duduk. Mau pesan apa?"
"Samain kaya Ayah aja."
Setelah itu, Ayah memanggil salah satu waiters untuk mencatat pesanannya.
"Gimana kabar kamu?"
Karin tersenyum, "baik, sangat baik. Ayah sendiri, gimana?"
"Ayah juga baik."
Hening beberapa saat.
"Ayah... Mau minta maaf." Karin meremas kedua telapak tangannya saat mendengar kalimat itu meluncur dari Ayahnya. Jantungnya berdegup dengan kencang. Keringat mulai bermunculan di pelipisnya. Apa akan di mulai sekarang?
"Maaf untuk semua sakit yang selama ini Ayah torehkan ke kamu, Arel, dan... Ibumu."
Kenapa?
Kenapa baru sekarang, Yah?
Apa harus nunggu Ibu pergi dulu?
Pertanyaan itu tertelan kembali. Karin tak mampu untuk menyuarakannya.
"Tolong, ampuni semua dosa Ayah, Dek." lirih Ayah.
Tangis Karin pun tak mampu dibendung. Isaknya mulai terdengar.
"Adek... Mau kan maafin Ayah?"
Karin tergugu.
Ini salah.
Ayah tak seharusnya memohon padanya.
"A-ayah... Jangan."
"Jangan minta maaf sama Adek." lanjutnya dengan napas yang terputus-putus.
Ada jeda di sana. Sampai Karin sudah bisa menghentikan tangisnya. Gadis itu kembali menatap sang ayah. Ada pendar kerinduan yang bisa ia tangkap dari netra lelaki yang duduk di depannya.
Karin meraup napas sebelum berbicara, "dari dulu, Adek enggak pernah marah sama Ayah. Adek enggak pernah benci sama Ayah. Sedikitpun. Seharusnya... harusnya Adek yang minta maaf. Maaf kalau Adek selalu gak nurut sama kata-kata Ayah. Maaf kalau Adek pernah buat Ayah sakit hati, maafin Adek ya, Yah?"
Ayah menatap Karin dengan mata berkaca-kaca.
Anaknya. Anak gadisnya. Bungsunya. Putri kecilnya. Ternyata sudah sedewasa ini.
Ada rasa penyesalan yang begitu besar, sudah sebanyak apa waktu yang ia buang sampai tidak menemani tumbuh kembang putrinya.
Tangannya mengusap sudut mata yang basah. Ayah menangis. Menangisi penyesalan. Menangisi kebodohannya.
"Maafin Ayah ya, Adek."
Karin menggeleng. Lalu mengangguk kuat-kuat.
"Ayah... Adek boleh peluk?"
"Boleh, sayang, boleh."
Ayah bergerak dari duduknya dan menghampiri Karin. Memeluknya erat. Tangis Karin kembali runtuh. Ini kali pertama ia menangis di dekapan sang ayah. Kali pertama ia dipeluk oleh Ayah. Rasanya hangat. Seperti ia begitu dilindungi.
"Ayah... Kangen."
"Kalau, nanti Adek mau minta waktu Ayah, boleh? Adek pengen deh main sama Ayah, sama Aa juga. Terus nanti kita temuin Ibu, ya Ayah? Boleh enggak?" Saat Ayah mengangguk dan membisikan kata 'iya, boleh' disitu Karin mematik senyum manisnya.
Setelah ini, Karin sudah boleh bahagia 'kan?
***
Beberapa part lagi mungkin bakalan ending. Kuharap, apapun akhirnya nanti kalian bisa menerimanya yaaa.
Thanksluuvv.
Sehat selalu ya. Lope badag.
D A H 💚
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR STORY [END]
Teen FictionDimana ada Fauzan disitu ada Karin. Dimana ada Karin disitu pun ada Fauzan. Mereka itu ibaratkan amplop dan perangko. Padahal mereka bukan saudara kembar, bukan juga kakak beradik. Hanya saja, pertemanan yang sudah terjalin sedari kecil membuat ked...