Keesokan harinya. Ruangan Dandelions dipenuhi oleh gelak tawa dari teman-teman Fauzan. Naren, Janu dan Jenandra berkunjung menjenguk pria itu. Mereka datang untuk memberi dukungan pada Fauzan.
"Jagoan payah kieu euy!" Kata Naren mengolok-olok Fauzan.
Fauzan terkekeh pelan. "Tapi untung sih maneh cuma patah tulang. Kumaha lamun maot?"
Plak!
"Sembarangan banget ngomongnya." Kata Karin setelah memberi pukulan panas pada lengan atas Naren.
Pria itu meringis kesakitan. "Sorry-sorry."
"Nanti anak-anak kelas juga pada mau kesini." Info Jenandra yang duduk di ujung ranjang.
"Semua?"
"Perwakilan aja."
"Kalo gitu, gue keluar dulu ya, beliin makanan buat mereka." Ucap Karin menyela.
"Yuk gue anter. Sekalian beli kopi." Ucap Janu kali ini.
Karin mengangguk lalu mengambil dompet dan ponsel di dalam tasnya. "Titip Ojan ya."
"Dijagain. Kok. Dijagain." Ucap Naren penuh penekanan. Selepas itu Karin dan Janu pun pergi menuju toserba di seberang rumah sakit. Mereka memasukan beberapa jenis minuman dan cemilan ke keranjang. Dan juga membeli makanan berat karena Janu dan Naren belum makan katanya.
Saat mereka kembali, ruangan itu sudah bertambah penuh. Mungkin bertambah lima orang. Dan... Karin mengernyitkan keningnya saat menangkap sosok gadis duduk di kursi yang biasa dipakai olehnya.
Gadis itu, tersenyum ke arah Fauzan, tak hanya itu tangannya pun bergerak menepuk lengan Fauzan. Dia siapa?"Wuih. Makin rame aja." Suara Januar menarik Karin dari pikirannya. Ia mengikuti langkah Januar ke arah meja. Meletakkan bingkisan yang ia bawa. Lalu mengeluarkan semua makanan dan minuman yang ada.
Teman-teman Fauzan masih terus berbicara. Entah mengobrolkan apa, Karin tidak mengerti, ia hanya fokus mempersiapkan hidangan dibantu oleh Januar.
"Duduk sini, Sob. Nih pada dimakanin." Kata Januar pada orang-orang yang ada di sana. Karin melempar senyum pada mereka, kemudian beranjak dari posisinya dan menghampiri Fauzan. Namun, langkahnya terhenti saat melihat gadis yang mengenakan dress berwarna peach itu masih terduduk di sana. Entah tengah berbicara apa dengan Fauzan.
Alih-alih menghampiri Karin pun memilih berdiri di sisi Naren dan menyandarkan sebagian tubuhnya pada tembok di belakang. Lalu fokus pada ponsel, membalas pesan dari Kayla yang menanyakan keadaan Fauzan.
Akan tetapi sebuah kalimat terdengar samar oleh rungunya. "Mau apa, Jan?" Kepala Karin terangkat. Menatap dua insan di hadapannya.
"Minum," jawab Fauzan. Lantas gadis itu bergerak mengambil gelas di nakas.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR STORY [END]
Teen FictionDimana ada Fauzan disitu ada Karin. Dimana ada Karin disitu pun ada Fauzan. Mereka itu ibaratkan amplop dan perangko. Padahal mereka bukan saudara kembar, bukan juga kakak beradik. Hanya saja, pertemanan yang sudah terjalin sedari kecil membuat ked...