🦋Maaf, Aku Gagal

852 62 7
                                    

Di dalam ruang operasi, tampak seorang Junkyu yang tengah berjuang antara hidup dan mati. Dipimpin oleh dokter Yedam, para tenaga medis itu berusaha keras untuk menyelamatkan pasiennya.

Dengan penuh kehati-hatian dan juga perhitungan yang matang, mereka mulai membedah serta melakukan prosedur operasi sebagaimana yang telah mereka pelajari.

Hampir dua jam berlalu, dokter Yedam pun nampak hampir menyelesaikan operasinya

“Dokter, detak jantung pasien melemah” ucap salah seorang perawat perempuan yang turut andil dalam operasi Junkyu

Yedam menatap mesin pengukur detak jantung yang hampir menunjukan garis lurus. Tidak, ia tak boleh gagal dalam operasi ini, terutama untuk menyelamatkan sahabatnya

“Tambahkan dosis bius, kita lakukan planing ke dua” titah Yedam yang membuat dokter lain terdiam “Kenapa diam? Kalian tidak dengar apa yang saya katakan?” ucap Yedam

“Tapi, untuk bia-”

“Menyelamatkan nyawa mereka merupakan tugas kita. Persetan dengan aturan rumah sakit ini, kita tetap lakukan rencana kedua” ucap Yedam dengan tegas

Ia tau keputusannya ini mungkin beresiko, namun ia tak mau berdiam diri sembari melihat pasiennya yang sekarat. Janjinya sebagai seorang dokter, benar-benar ia pegang teguh.

Sedangkan di luar sana, Jisoo nampak menunggu dengan cemas. Ia tak bisa tidur dari semalam akibat terus memikirkan kondisi putrinya. “Junkyu bertahanlah nak” gumam Jisoo

Tak lama, Suho datang dengan tergesa. Ia berniat mencari pinjaman uang untuk biaya pengobatan anaknya yang sebentar lagi harus dilunasi

“Bagaimana kondisi Junkyu ma?”

“Masih ditangani dokter Pa.”

Suho lantas menggenggam telapak tangan Jisoo yang terasa dingin. Ia tau, istrinya itu pasti sedang merasa khawatir

“Pa, gimana kalau Junkyu pergi?”

“Junkyu tak akan pergi ma, dia akan terus bersama kita”

“Tapi perasaan mama ga tenang” Jisoo lantas beralih memeluk sang suami

“Kita percayakan semua pada Tuhan ya, Ma”

.....

Haruto menatap ragu pada langkahnya kali ini. Ia menatap sebuah rumah besar, yang dulu pernah ia kunjungi untuk meminta bantuan. Haruskah ia kembali masuk dengan segala resiko? Atau justru pergi dengan langkah tak pasti.

“Hah.. Tidak ada pilihan lain” ucap Haruto sebelum ia memilih untuk masuk

Diketuknya pintu rumah itu beberapa kali, sebelum akhirnya pintu besar dengan ukiran artistik itu terbuka
...
Haruto duduk di sofa mahal yang berada di dalam sebuah ruangan kerja yang baginya tak asing. Hanya sedikit perubahan dari terakhir kali ia menginjakan kaki disini.

“Tak ku sangka kau akan kemari lagi, Watanabe Haruto” seorang pria yang tak kalah tinggi darinya kini menghampiri Haruto di dalam ruangan itu.

“Aku tak mau basa-basi. Aku perlu sejumlah uang”

“Wah, santai dulu Haruto. Jadi kali ini apa yang akan kau gadaikan?”

“Aku tak punya apa-apa, akan tetapi aku akan mencicilnya setiap bulan”

“Haruskah aku percaya?”

“Kumohon bantu aku kali ini saja Tuan Yuta. Istriku sedang menjalani operasi, aku harus segera melunasi biaya rumah sakit agar dia mendapatkan perawatan dengan baik” pinta Haruto, memohon

Yuta nampak menimbang perkataan Haruto. Ia bukanlah tipe orang yang akan mudah kasihan pada orang lain, namun ia perlu orang-orang seperti Haruto untuk menambah kekayaannya

“Baiklah Haruto. Aku akan meminjamkanmu uang. Tapi ingat, jika kau tak mengembaikannya tepat waktu maka nyawamu, bisa saja menjadi taruhannya.”

“Aku mengerti akan itu”

Yuta tersenyum puas, lantas mengeluarkan selembar kertas dari dalam sakunya “Berapa nominal yang kau minta?” tanyanya sebelum menuliskan angka pada sebuah cek

.....

Malam semakin larut, hanya beberapa kendaraan yang berlalu lalang menembus gelapnya malam. Toko-toko mulai tutup, bersamaan dengan lampu-lampu di dalam rumah yang mulai dimatikan.

Haruto segera membereskan barang-barangnya setelah shiffnya usai. Selain bekerja di pabrik, Haruto juga mengambil kerja paruh waktu untuk mencari tambahan.

Tadi Suho mengabarinya, jika operasi yang Junkyu jalani berjalan lancar, meski kondisi wanita itu belumlah membaik. Haruto sedikit lega mendengarnya, setidaknya Junkyu telah melewati masa kritis, meski belum tersadar.

Dengan segera, Haruto bergegas pergi. Ia tak sabar untuk melihat sang istri, meski nantinya mata itu masih tertutup. “Junkyu, ku harap kau cepat kembali. Kami merindukanmu” ucap Haruto seraya mempercepat langkahnya

Akh...” tubuh Haruto menghantam jalanan dengan kuat, ketika seseorang menarik kerah bajunya dari belakang.

Kini terlihat beberapa orang laki-laki dewasa berdiri mengelilinginya yang tergeletak di jalan, melihat dari ekspresi mereka, Haruto yakin jika mereka orang jahat.

“Apa mau kalian?” Haruto lantas bangkit dan memandang mereka satu persatu. Ia sebenarnya pandai berkelahi, akan tetapi jika kalah jumlah begini, rasanya akan sangat sulit

“Pakek nanya lagi, kalau lo mau selamat lo harus nyerahin duit lo ke kita” ucap salah satu dari mereka

Ah sial, jika begini Haruto benar-benar harus menghindar “Saya ga punya uang”

“Hah? Kau pikir kami akan percaya? Cepat geledah dia!”

Merasa sinyal bahaya, Haruto segera bergegas berlari menjauh untuk menghindar, akan tetapi lemparan sebuah benda keras yang entah apa mengenai punggungnya yang masih terasa nyeri. Tubuh Haruto lantas tersungkur ke jalanan membuatnya kembali meringis kesakitan

“Mau kemana hah? Kau tak akan bisa lari lagi. Cepat geledah dia!”

Haruto masih mencoba melawan ketika empat orang itu kini mengerubuninya,
“Lepasin gue! Tolong..tolong...” Haruto berteriak kencang, meminta bantuan. Namun jalanan benar-benar sedang sepi saat ini.

“Heh diam kamu!” sebuah pukulan di rahangnya berhasil Haruto dapatkan, membuatnya kini kembali terungkur ke jalanan.

“Wah bos, ada kertas duit nih” Haruto menatap panik ketika cek yang baru saja ia dapatkan dari Yuta, kini berpindah tangan. “Ku mohon jangan mengambilnya, itu untuk biaya berobat istriku” pinta Haruto dengan lirih

“Kau pikir aku perduli?”

Akh...” Haruto memegangi perutnya, tendangan dari preman berbadan besar itu tak main-main kerasnya. Mereka lantas mengambil ponsel, uang serta sebuah cek dengan nominal yang besar itu dari Haruto

Tubuh Haruto sudah tak berdaya lagi. Perutnya terasa keram, bibirnya berdarah mungkin karena luka robek dan tak lupa punggungnya yang terus berdenyut hebat akibat hantaman sebuah batu berukuran kepalan tangan wanita dewasa.

“Ayo kita tinggalkan dia!” titah si ketua preman yang lantas diikuti oleh anggotanya

“Foya-foya nih kita”

Air mata Haruto meluruh seketika. Bayang wajah Junkyu kini muncul di kepalanya. Bagaimana ia akan membayar biaya rumah sakit, jika uang yang menjadi satu-satunya harapannya itu telah sirna?

Mengharapkan kedua orang tuanya atau orang tua Junkyu pun rasanya tak mungkin, mengingat perekonomian mereka yang termasuk golongan menengah ke bawah.

Haruto semakin terisak, tak pernah ia sangka hidupnya akan begini. Perlahan ia mencoba bangkit, namun tubuhnya seakan mati rasa. Haruto benci akan dirinya yang lemah

“Junkyu, maaf..” gumamnya sebelum ia kehilangan kesadaran.
.
.
.
.
.
.

1023 word

Aku yang ngetik aku yang baper. Ga tega bayangin Haruto dirampok

Treat Me Better, Please (GS)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang