53

10 5 0
                                    

Semesta memang menyebalkan, suka mempermainkan. Seberapa jauhpun kaki melangkah, melampaui batas-batas yang tidak disangka akan dapat dilewati oleh diri sendiri, kenapa harus menyelipkan kisah pertemuan dengannya lagi?

******

Adel menarik nafasnya dalam, menikmati semilir angin sejuk yang menerbangkan beberapa helai rambutnya yang terurai.

“Wahhh, keren ya gue bisa ke sini sendirian..” ucapnya bangga pada dirinya sendiri.

Pemandangan yang indah. Sangat indah. Lihatlah ribuan kincir angin raksasa yang disajikan Desa Kinderdijk ini. Yap, Adel sedang berada di Negara kincir angin. Sendiri. Tidak dengan Geeta yang sebenarnya ngotot ingin ikut tapi Gilang tidak memberinya ijin (padahal statusnya hanya pacar). Tidak juga dengan Marsya, yang walau jiwa petualangnya tinggi tapi tidak bisa mengorbankan acara organisasi di kampusnya. Apalagi dengan Elina yang masih sibuk di Yogyakarta.

Adel juga sebenarnya masih takjub dengan dirinya sendiri, bisa bepergian sejauh ini tanpa ditemani orang terdekat. Dengan predikat solo traveller ini, dirinya banyak belajar. Adel pernah membaca suatu artikel terkait kenapa seseorang memutuskan untuk bepergian seorang diri. Pertama, tidak ada seorangpun yang dapat menemaninya meskipun mereka ingin pergi bersama. Kedua, hidupnya sudah terlalu memuakkan, sehingga memaksa mereka untuk rehat sejenak dari rutinitas. Ketiga, patah hati. Mungkin alasan terbesarnya ada disini ialah alasan yang ketiga, walau alasan pertama dan kedua memang betul sedang terjadi pada dirinya juga.

Ah, patah hati memang merubah banyak hal dalam hidupnya.

Ketika sedang asyik memanjakan mata dengan sejuknya pemandangan, juga berfoto ria untuk dipamerkan pada para sahabatnya nanti, seseorang memanggilnya dari kejauhan.

“Adel?”

Adel langsung menoleh, “Ya?”

Adel mematung. Bohong kalau dirinya tidak mengetahui suara siapa yang baru saja di dengarnya itu, namun dirinya masih saja menoleh dengan ceria. Berharap hanya suaranya saja yang mirip.

Lelaki yang baru saja memanggilnya itu mendekat perlahan. Dengan kamera dslr yang menggantung di lehernya, pakaian seba hitam yang membalut keren tubuhnya.

“Bener Adel kan?”

“Loh Alwan? Kok lo ada disini?” tanya Adel heran, walau jantungnya sudah berdetak tidak karuan sejak tadi. Rasanya malah ingin menangis saat itu juga.

Alwan malah tertawa mendengar pertanyaan barusan. “Karena gue ingin?”

“Hah?” Adel merutuki dirinya yang tiba tiba blank dan tidak bisa mengontrol mimik wajah saat ini.
“Sorry, gue malah hah heh hoh. Maksud gue, lo lagi wisata ceritanya?”

“Iya, karena gue lagi liburan aja. Long time no see, Adel. Udah sekitar tiga tahun ya sejak terakhir kita ketemu?”

“Hmmm.. udah tiga tahun aja ya.” Dan gue masih belum bisa ngelupain lo dan perasaan ini, bahkan alasan terbesar gue ada di sini itu karena lo. Karena gue belum bisa lupa.

Alwan menganggukkan kepalanya, “Yang lain lagi kemana? Kok lo ditinggal sendirian?”

“Gue sendirian kok. Solo traveller.”

“Serius? Waw. Keren.”

“Keren ya gue? Hahaha” Adel tertawa yang diikuti oleh lelaki di hadapannya.

Sejenak hanya keheningan yang menemani mereka. Selalu begitu. Pertemuan pertama setelah bertahan-tahun tidak bertemu, akan selalu ada momen dimana lidah terlalu kelu untuk mengucap dan bercerita banyak hal. Ada kecanggungan yang muncul, seolah bertemu dengan orang baru.

“Apa kabar, Al?” tanya Adel lebih dulu.

“Gue baik, alhamdulillah. Lo sendiri?”

“Gue juga sejauh ini baik-baik aja. Yang lain gimana?”

“Oh sobat gue? Yang gue tahu sih mereka juga baik-baik aja, selain persoalan dimana skripsi sudah di depan mata dan harus segera diselesaikan..” Alwan tertawa ringan.

“Gilang yang masih bucin sama si Geeta, sahabat lo itu.”

Adel juga jadi ikut tertawa mendengarnya. Bukan hanya Alwan yang merasa mereka berdua masih saja sama, seperti baru hari pertama jadian, selalu berbunga-bunga. “Gue juga heran sama mereka berdua, Al. Bucin parah.”

“Daniel, si playboy. Semenjak putus dari Marsya, tuh anak tiap bulan gonta ganti pacar, Del. Gue sampai bingung sendiri mau nyari cewek yang kaya gimana lagi.”

Adel hanya meresponnya dengan anggukan kepala dan menipiskan bibir. Sebenarnya kabar Daniel suka gonta ganti pacar adalah hal yang baru bagi dirinya. Marsya terlalu sibuk dengan organisasi dan tugas kuliah, jadi kabar Daniel mungkin tidak banyak berpengaruh dalam hidupnya saat ini.

“Sedangkan Langit sih, kayanya lo juga tau ya. Dia engga terlalu sibuk, bahkan beberapa kali kita sempetin video call barengan yang lain juga. Tapi, semua cuma topeng dan lo tau sendiri itu karena siapa.”

“Elina. Gue tahu betul, Al.”

Adel melanjutkan, “Mereka tuh, definisi dari susahnya menjalin ldr, apalagi tanpa status yang jelas. Lo tau sendiri, Langit tuh tipikal cowok perhatian yang setia. Dia selalu mengerti apapun keadaan Elina, Elina yang lagi sibuk sampai gak sempet ngasih ngabar seminggupun, dia ngerti.”

“Tapi, Elina terlalu dingin untuk bisa ngerti itu semua. Elina gak tau aja Langit sampai harus pasang muka baik-baik aja, padahal hatinya lagi risau nunggu kabar.”

Alwan hanya bisa  meringis, “Emang cuma mereka yang tahan sama pribadi masing-masing, Del. Seolah memang ditakdirkan untuk bersama. Lagian si Langit tuh bukan orang yang gampang dimengerti semua orang, gue aja sebagai sahabatnya, bertahan-tahun kenal masih bingung sama pola pikirnya gimana.”

“Betul. Kita tunggu dan lihat aja kedepannya akan seperti apa nanti.”

“By the way, gue denger lo dapet beasiswa S2 ya, Al?”

“Baru apply gue, Del. Belum disetujui, masih harus nunggu satu bulan lagi. Doain aja ya, semoga lancar.”

“Aamiin. Emang rencananya mau ambil dimana, kalau boleh tau?”

“Disini.”

“Loh? Di Belanda? Serius?”

“Iya, betul. Salah satu alasan gue ada di sini sekarang, adalah untuk itu. Gue punya temen yang juga kuliah disini, jadi ya sekalian aja deh.”

“Waw. Hebat banget. Lo pasti bisa masuk, Al.”

“Thanks, Del.”

Hening kembali menyelimuti di antara dua insan yang tengah berdiri di salah satu sudut keindahan Desa Kinderdijk.

“Lo gak bareng pacar, Al?” Niat ingin basa-basi, tapi malah kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Kenapa juga harus nanya itu.

Alwan terdiam cukup lama, “Baru aja putus, tepat sebelum gue ke sini. Hahaha.” Entah mengapa dirinya merasa bodoh dan harus menertawakan kejadian dua hari yang lalu saat ia putus dengan mantan kekasihnya di bandara.
Adel hanya ber-o ria dan mengangguk maklum. Kalah gue, dia aja sempet pacaran sama yang lain. Masa gue tetep dengan predikat jomblo dan belum move on.

“Kalau lo sendiri?”

Adel malah kaget mendengar pertanyaan itu, malah jadi boomerang untuk dirinya sendiri.

“Gue masih betah sendiri, sih. Hahaha.” Di akhiri tawa garing yang ia ciptakan sendiri.

“Wah, kebetulan. Karena lo sendiri, gue juga sendiri. Pacaran lagi yuk, Del?”

“Hah?” Kayanya gue budek deh. Apa? Pacaran lagi?

Bersambung…

***

Jangan lupa vote yah temen², tungguin part selanjutnya.
Roman² nya sih ending sudah hampir tercium nih.

risamaulani

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 15, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta dalam PersegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang