48

63 13 2
                                    

Perpisahan merupakan bagian dari kehidupan. Takdir kehidupan. Jangan takut menghadapi perpisahan, karena sejatinya semua makhluk akan kembali ke tempat asalnya. Layaknya pertemuan, perpisahan juga terkadang menyedihkan.

Setelah pulang liburan satu minggu yang lalu, mereka tak punya kegiatan lain selain mempersiapkan masalah perkuliahan. Namun, karena alasan tertentu, malam ini hati mereka gundah. Esok hari, kedua sahabat mereka akan pergi meninggalkan kota ini. Kota tempat mereka bertemu.

Langit dan Elina akan pergi belajar di tempat yang berbeda. Mereka akan take off besok, tapi ke tempat yang berbeda. Langit akan pergi ke LA, dan Elina akan pergi ke Yogyakarta. Dua sejoli ini akan diuji hatinya, menahan rindu beda negara.

Hal yang sangat ganjil adalah tak ada pertemuan apapun sebelum keduanya meninggalkan keseharian mereka disini. Tak ada yang mengirim pesan satu sama lain. Hanya berdiam diri menahan risau. Hingga akhirnya fajar berada di atas langit, mereka baru mencemaskan hal ini.

Sebagai sahabat yang baik, mereka tentu harus ikut melepas kedua sahabat terbaik mereka ini. Mereka sepakat untuk bertemu langsung di bandara. Entah karena apa, tapi justru itu akan membuat perpisahan berlangsung cepat. Dibalik itu semua, ternyata ada kejutan tak terduga yang telah dipersiapkan. Mereka yang ditinggalkan akan datang lebih dahulu di cafe dekat bandara dua jam sebelum pesawat mengudara. Tanpa sepengetahuan kedua belah pihak, baik itu Langit atau Elina yang cenderung peka akan suatu hal ganjil.

Dari balik wajah mereka yang tenang saat melihat kedua insan itu berjalan murung menghampiri mereka, tersirat kesedihan yang mendalam. Tapi itu bukan masalah. Karena sejak awal pertemanan mereka, mereka sadar bahwa akan ada saatnya mereka kembali menikmati waktu sendirian tanpa hadirnya teman atau sahabat.

"Hai." Sapa Elina yang tiba-tiba canggung kepada para sahabatnya yang dibalas sapaan halus lainnya.

Perempuan berambut melebihi bahu ini membawa serta merta dua koper dan sebuah tas gendong kecil yang tersampir di punggungnya. Sebuah dress anggun nan cantik berwarna krem dibalut cardigan putih menjadi pilihan fashionnya saat ini. Terlihat jelas Elina berusaha menahan kesedihan yang mendalam pada raut wajah manis dengan riasan tipis itu.

Langit datang beberapa menit setelah Elina. Tak ada yang berbeda dari penampilan dan barang bawaannya yang banyak. Hanya saja, Langit datang tanpa gairah sedikitpun di wajahnya. Berjalan terseok-seok seolah ia enggan pergi mengejar cita-citanya. Wajah dan tubuhnya tak bersemangat sama sekali bahkan untuk sekedar menyapa.

"Jangan sedih gitu dong, brother!  Lo jangan mikirin kita yang di sini, kita ga bakalan mati tanpa lo. Gue bakalan terharu kalau lo beneran mikir kaya begitu.." Ucap Gilang dengan rangkulan kuat pada bahu Langit.

Seketika raut wajah Langit berubah. Ia menatap Gilang horror. "Ngapain juga gue mikirin lo? Siapa gue emang?" Tanya Langit sangat menohok.

Gilang melemparkan tatapan kesal dan melepaskan rangkulan tangan itu dengan kasar. Tingkahnya seperti seorang wanita yang sedang marah, yang lain dibuat tertawa oleh tingkah mereka berdua.

Ketika semua orang telah duduk di kursinya masing-masing, tak seperti biasanya karena tak ada satu orangpun di antara mereka yang berbicara. Banyak hal yang ingin diucapkan dari masing-masing insan manusia ini, namun perkataan itu hanya membuncah dalam kalbu. Alhasil, keadaan ini berhasil menciptakan kecanggungan yang luar biasa.

Hingga salah seorang dari mereka berdiri karena sudah tak tahan berada dalam situasi canggung yang berkepanjangan ini.

"Oke, stop canggung! Gue ga tahan diem-dieman kaya gini. Kalian semua kenapa, sih? Elina dan Langit bakalan pergi ke dunia yang lebih luas, tapi bukan berarti mereka benar-benar pergi dari dunia ini. Elina masih satu pulau sama kita, guys. Langit juga masih berada dalam satu lingkup bumi. Kok kalian malah diem aja?" Keluh Gilang frustasi.

Cinta dalam PersegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang