POV Geeta
Aku berlari menuruti langkah kakiku. Aku takut emosiku memuncak saat terus berdebat dengan mereka. Mereka terus saja menyalahkanku. Di mata mereka, semua yang aku lakukan terasa salah.
"Salah gue dimana? Hanya karena tidak menuruti keinginan mereka?!" Gerutuku.
"Apa yang salah dari berani memulai sesuatu duluan? Lagian sekarang udah zamannya emansipasi wanita, mereka ga ngerti!"
"Gue harus tetep merjuangin dia! Toh gue ini yang bakal ngejalanin!"
Aku berhenti berjalan.
Eh tunggu.
Ada sepasang sepatu yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Sepasang sepatu itu diam tak bergerak, yang berarti si pemakai sepatu sedang diam ditempat.Aku mendongak melihat si pemakai sepatu itu.
Seorang lelaki berambut hitam sedang tertawa terbahak-bahak sembari menatapku imut."Ahahahahahahaha.."
Dia terus saja tertawa. Aku hanya menatapnya nanar.
Cowok itu menghentikan tawanya, dan melihat ke arahku."Ehemm.. sorry" ujarnya sembari menetralkan suara serak sehabis tertawa.
Aku tetap menatapnya datar.
"Jujur. Lo orang paling aneh yang pernah gue temuin, sumpah!" Katanya.
"Terus?"
"Lo ga ada kerjaan? Kebetulan ibu gue psikolog loh, lo bisa konsultasi ke ibu gue, kelihatannya lo lagi banyak masalah!""Kalau gue ada kerjaan, ngapain gue ada disini? Lagian lo ribet banget, sih! Lo siapa lagi! Rese banget jadi orang!"
"Gue anak dari seorang psikolog, dan gue tahu obat penawar untuk orang kaya lo!"
"Maksud lo?!"
"Yaa lo butuh obat!"Kemudian cowok itu berjalan lebih cepat dariku dan mulai mendahuluiku.
"Sial! Nyebelin!!" Kutendang sampah kaleng yang ada di dekat kakiku.
Dan...
"Aduhhhh!" Teriak cowok itu berbarengan dengan mendaratnya kaleng yang baru saja kutendang pada kakinya."Lo beneran harus konsultasi deh. Sabar yaa.. nanti gue usulin lo ke ibu gue."
Amarahku naik ke angan-angan, membuat wajahku memanas seketika.
Sebelum emosiku naik lebih tinggi, cowok rese itu pergi disertai kekehan kecil."Oh iya,, nama gue Gilang, rumah gue di perumahan Anggrek blok dua no. 23, kalo lo mau konsultasi dateng aja ya, byee!!" Teriaknya dari kejauhan sambil melambaikan tangannya yang panjang dan kekar itu.
"Heeh gue gak butuh konsultasi sama ibu lo! Dan gue gak akan mau dateng ke rumah lo!" Teriakku kesal.
***
POV AuthorPagi yang dipenuhi kabut, tanaman yang diselimuti embun, suhu pun terasa sangat dingin.
Sama halnya seperti hubungan Geeta dengan ketiga temannya masih terasa dingin tak sehangat yang biasanya.Gedung sekolah yang biasanya nampak indah dan kokoh kini tertutup oleh kabut yang begitu tebal.
Semua siswa dan guru-guru yang berada di lingkungan sekolah saling memamerkan pakaian tebalnya. Mereka sama-sama mengenakan jaketnya.
Begitupun dengan Adel dan Elina yang baru saja melewati gerbang sekolah."El, gue khawatir nih sama si Geeta!"
"Kalo gue sih biasa aja! Udahlah gak usah dipikirin!"
"Ih kok lo gitu, sih? Kasihan tau si Geeta..coba bayangin gimana perasaan dia!""Gue juga khawatir Adel, tapi kita juga harus biarin dia sendirian dulu. Biar dia bisa intropeksi dulu. Kalau keadaannya udah membaik, Geeta juga nyadar kalau dia ga selamanya bener dan ga semua yang dia lakuin itu baik untuk dirinya sendiri, kita bisa bersama lagi. Lo tenang aja, selama bumi masih mengelilingi matahari, persahabatan kita ga akan pernah terganggu oleh apapun." Ujar Elina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dalam Persegi
RandomPerasaan cinta tulus terpaksa harus terhalang oleh kehadiran cinta lain, membentuk susunan cinta dalam sebuah persegi. Untuk bisa keluar dari dalam persegi itu, mereka harus bekerja ekstra dalam membaca perasaan orang lain. Bahkan harus mengorbankan...