Part 30

54 17 1
                                    

Udara pagi selalu bisa menjadi obat penenang yang baik. Seperti saat ini, lelaki yang masih mengenakan handuk kecil di kepalanya itu sedang duduk melamun didepan kamar.

Langit menghela nafasnya beberapa kali. Berulang kali ia mencoba berpikir jernih soal masalahnya dengan Elina. Namun tetap berujung pada jawaban yang sama, dirinya tetap bersalah memperlalukan Elina seperti itu.

Seharusnya ia tahu, ia tak perlu menyalahkan Elina, ia tak perlu marah pada perempuan itu. Walau ia tak sepenuhnya marah kala itu.

Apakah ucapannya terlalu kasar? Apa harus dirinya meminta maaf?

Ah, tapi memang dirinya yang salah. Langit segera mencari nama perempuan itu dihandphone. Kemudian segera menempelkan benda berbentuk persegi panjang itu ke telinganya.

Terdengar nada sambung, namun tak kunjung di angkat. Hanya suara dari operator yang mengatakan seseorang yang ia hubungi tak mau menjawab telpon darinya.

"Sekalipun gue telepon dia berulang kali, ga akan dia angkat. Percuma.." Keluh Langit pada dirinya sendiri.

Lelaki ini menyimpan kembali telepon genggamnya lalu menggosok rambutnya dengan handuk kecil. Sesaat kemudian, ia tersadar akan suatu hal.

"Bego banget ya gue. Mana ada cewek yang suka sama cara minta maaf lewat telepon? Kok gue payah banget ya? Ga gentle"

"Siapa yang ga gentle?" Tanya seseorang yang baru saja menampakkan dirinya dihadapan Langit.

Langit mendongak dan melihat Alwan yang tengah menatapnya bingung.

"Bukan siapa-siapa." Jawabnya singkat.

"Kayaknya akhir-akhir ini ada yang merhatiin lo deh.." Ucap Alwan kembali.

Alis Langit terangkat menandakan kebingungan.

"Yang jelas bukan Elina. Lo lagi ada masalah ya sama Elina? Elina lagi marah sama Adel dan itu imbasnya ke gue.." Tutur Alwan setelah melihat Langit tak kunjung berbicara.

"Gue ga tau dan gue ga ngerti."

Langit menyelonos masuk setelah mengatakan kata sesingkat itu.

"Lagi PMS kali ya dia?"

****

Langit yang cerah akan mengantarkan mereka pada dunia luar. Matahari sudah berkutat di atas sana. Namun tak sejengkalpun, Elina beranjak dari tempatnya duduk sekarang ini.

Semua temannya akan pergi mengunjungi beberapa tempat di Yogyakarta. Menghabiskan hari terakhir di kota ini.

"Lo beneran ga mau ikut kita? " tanya Marsya pada Elina yang sejak tadi hanya duduk dan menonton drama Korea pada laptopnya.

Elina yang sedang fokus hanya memutar matanya malas. Ini sudah kelima kalinya mereka bertanya seperti itu.

"Engga." Jawabnya dengan malas.

"Kenapa? Jangan bilang males?" kali ini Geeta yang bertanya.

Saat ini, Geeta sedang merapikan rambutnya yang panjang itu. Ia heran dengan sikap Elina belakangan ini.

"Gue lagi males. Ga ada alasan khusus." Jawab Elina jengah.

Geeta mencoba mengintip apa yang ditonton Elina sehingga membuat perempuan itu tak beranjak dari tempat duduknya.
Sepertinya acara mengintipnya dilakukan di waktu yang tidak tepat.

"Aaaaarrgghhh..." Teriak Geeta cukup kencang hingga membuat semua yang berada di kamar menoleh padanya.

Geeta bergidik ngeri dan menutup mata menggunakan kedua telapak tangannya. Ia baru saja melihat adegan pembunuhan. Saat si pembunuh melayangkan sebuah bola besi pada kepala korban.

Cinta dalam PersegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang