Part 17

53 23 1
                                    

Semilir angin membelai halus wajahnya. Angin malam terasa menyejukkan sekaligus menusuk kulit.

Elina terlihat menikmati deru angin pada jendela kamarnya. Aktivitas hari ini terasa berat. Namun hatinya ikut senang saat mengetahui Daniel dan Marsya telah mengikat hubungan.

Handphone miliknya bergetar. Ada sebuah notifikasi pesan.

Langit: Lo punya janji sama gue.

Hatinya senang sekaligus kesal. Janjinya pada Langit. Menjadi pengganti tangan kanannya yang patah gegara dirinya.

Elina: 'Lo mau makan apa? Kita ketemuan dimana?'

Langit: 'Lo ke rumah gue aja dulu'

Rumahnya? Gue aja ga tau rumahnya dimana.

Elina: 'Rumah lo dimana? Kalau jauh dari rumah, kayanya ga bisa deh. Udah malem soalnya.'

Langit: 'Tenang aja, gue ada dirumah sebelah lo kok'

Kening Elina mengerut. Raut wajahnya mengatakan bahwa ia sedang bingung. Rumahnya berada di akhir jalan, rumah yang berada disebelahnya adalah rumah Marsya.

Jikalau pemikirannya benar, sedang apa Langit dirumah Marsya?

Elina: 'Rumah Marsya? Kenapa lo ada disana?'

Terasa berat jika ia harus menerima balasan 'ya'.

Langit: 'Iya. Udah cepetan kesini'

Hatinya mencelos.

Dengan berat, Elina segera menyambar jaketnya dan bergegas keluar dari kamarnya.

Tak ada siapapun dirumahnya. Ayahnya belum juga pulang. Sebenarnya Elina punya seorang adik laki-laki yang berbeda dua tahun dengannya. Adiknya memutuskan sekolah di suatu sekolah ber-asrama. Ia hanya pulang saat libur panjang sekolah.

Elina menguatkan hatinya dan mengetuk rumah itu perlahan.

Tak lama, seorang laki-laki keluar membuka pintu. Terasa aneh saat rumah yang biasa ditinggali wanita, kini terisi lelaki yang dikenalnya.

"Hai. Ayo masuk dulu.." ujarnya dengan menggeser sedikit tubuhnya memberi ruang untuk Elina masuk.

Tangannya masih terbalut. Masih terasa sakit saat melihat kondisi Langit seperti ini.

Mereka duduk di sofa berukuran panjang. Sudah tersedia dua bungkus nasi goreng di meja.

"Kenapa lo ada dirumah Marsya?" Tanya Elina setelah mereka saling menutup mulutnya.

Langit sedang berpikir. Haruskah dia memberi tahu Elina soal dirinya dan Marsya?

"Kebetulan aja gue lagi main disini, sekalian mau nginep. Tenang aja, gue nginep bareng si Gilang kok." Jawabnya.

"Gue mau liat reaksi lo. Gue harus mantapin hati gue. Apa lo pantes buat gue perjuangin?"

Tubuh Elina seketika menegang. Dirinya tak kuasa melihat mata itu berlama-lama. Ia buru-buru mengalihkan pandangannya.

"Kok b-bisa?" Tanya Elina gugup.

Dalam hati Langit tersenyum,

"Ya bisa. Udah ah ayo makan, nanti keburu dingin nasi gorengnya.." jawabnya sembari mengibas-ngibaskan sebelah tangannya yang bebas.

Sejak itu, Elina hanya diam. Dia tak membuka suara bahkan saat menyuapi Langit sekalipun.

Langit juga ikut diam melihat wanita didepannya diam tak berkutik. Langit hanya mengikuti gerakan tangannya yang menyuapi sendok demi sendok nasi ke dalam mulutnya.

Cinta dalam PersegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang