50

37 11 1
                                    

Suasana semakin diselimuti haru saat Langit akan segera pergi. Sekarang impian merekalah yang memisahkan mereka dari kebersamaan yang biasa terjalin setiap harinya. Langit akan pergi ke LA, Elina dan Ridwan akan pergi ke Yogyakarta. Sebuah harapan mencuat dalam pikiran mereka. Mereka berharap agar suatu saat nanti dapat dipertemukan kembali dengan ditemani kesuksesan yang sudah mereka raih masing-masing.

"Bro, hati-hati ya di LA.. Kita semua bakalan kangen sama lo. Sering-sering kabarin kita, jangan mentang-mentang lo sibuk kuliah dan lost contact deh." Daniel memeluk sahabatnya itu, menepuk-nepuk pelan punggung Langit.

Langit hanya tersenyum membalasnya. Dia mungkin tak kuasa untuk berkata saat itu. Jika kata tak mampu terucap, luruhan air mata mampu mengisyaratkan semua perasaan. Sebuah perpisahan memang sedikit mengusik.

Dipeluklah mereka satu per satu oleh Langit, tak terkecuali Elina. "Jaga diri lo." Langit berbisik pada Elina.

"Lo juga." Balas Elina seraya melepas pelukannya dan menghapus jejak air mata di pipi Langit.

Langit berjalan semakin jauh dari teman-temannya. Ada rasa sesak yang Elina rasakan kala pundak lelaki yang disayanginya itu hilang di balik kerumunan banyak orang. Tapi ini bukanlah akhir dari kisah mereka.

Setelah kepergian Langit tiga puluh menit yang lalu, kini tiba saatnya Elina dan Ridwan berpamitan.

"Gue pamit, makasih buat kalian semua. Gue minta doanya juga dari kalian, semoga kuliah gue lancar di sana. Gue harap kalian juga bisa sukses di bidang yang kalian pilih." Ujar Ridwan sembari tersenyum hangat.

Melihat ekspresi teman-temannya yang terlihat tidak mengenakkan, Elina kemudian berkata "Ya ampun, kontrol dong muka kalian. Malu gue jadinya lama-lama bareng kalian di sini."

"Kita bakal ketemu lagi, jangan sedih gitu dong! Jangan buat seolah ini terakhir kalinya kita berjumpa." Elina kemudian berjalan mendekati Adel yang sedaritadi sudah banjir air mata.

Elina memeluk Adel dalam. "Berhenti dong nangisnya. Kalo ngeliat kalian nangis kek gini gue jadi ga mau pergi ke Yogya deh. Gue jadi berat buat ninggalin kalian."

Marsya dan Geeta ikut berpelukan dengan Elina dan Adel. Menangis bersama. Pelukan yang sejatinya memberikan kenyamanan kini berubah menjadi hal yang mengerikan. Pelukan yang akan jarang mereka rasakan setelah ini.

"Lo harusnya ngerasa berat kalo lo ninggalin impian lo. Kita sahabat lo, kita bakal selalu dukung apapun impian lo. Kita bukan tembok yang membatasi lo sama mimpi-mimpi lo. El, gue nangis karena gue sedih. Gue baru sadar, ternyata El nya gue udah besar yah. Biasanya lo suka pergi ajak gue, sekarang lo perginya tanpa gue. Itu yang bikin gue sedih dan nangis." Tangisan Adel semakin menjadi, mengundang sebuah tangisan hadir pada siapapun yang melihatnya.

"Kalau liburan balik yah. Jangan lupain kita kalau-kalau di sana lo nemuin temen yang lebih asik dari kita." Tambah Marsya.

"Sukses di sana. Jangan khawatir in kita. Bener kata Marsya kalau liburan lo harus balik ke sini. Kita holliday bareng, takutnya lo mumet. Terus lo harus kuat liat darah ya jangan cemen kaya gue. Jangan takut juga kalo harus ke ruang mayat. Serius deh, mayat bakal jadi temen lo di sana. Hehe.." Kata Geeta seraya melepaskan pelukan mereka dan menyengir ke arah Elina.

"Heh, gue dateng ke sana juga ga langsung praktek kali." Celetuk Elina yang membuat sebagian dari mereka tertawa.

Pertemanan, persahabatan adalah seperti mereka ini. Tak perlu bertele-tele mengungkapkan perasaan. Namun sudah bisa mengenali suasana hati tanpa perlu diusut lebih dalam lagi. Sederhana, tapi tidak semua orang bisa melakukannya.

Jika merasa tidak memiliki sahabat, maka jadilah sahabat yang baik.

"Ayo kita lunch.." Ajak Daniel pada yang lainnya saat Elina dan Ridwan sudah tak bersama lagi dengan mereka.

Cinta dalam PersegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang