Part 25

61 19 0
                                    

Alam, itulah bagian dari mereka. Alam juga merupakan bagian dari jiwa mereka.

Bergelut dengan alam, menjadikan mereka sosok yang senantiasa menjaga kebersihan, ramah, dan tak pantang menyerah. Karena saat mendaki gunung, banyak hal yang dapat dipelajari. Sulitnya medan, menjadikan kita kreatif dan cerdas untuk memilih jalan, lelah saat mendaki menjadikan kita selalu sabar, saat satu orang butuh pertolongan semua bergerak, kebersamaan dan kekompakan tim adalah yang paling utama. Solidaritas bukan keegoisan secara tidak langsung tertanam saat kita mendaki gunung. Selain itu, mendaki gunung juga olahraga.

Mereka kali ini, akan mendaki gunung slamet dan sindoro di Yogyakarta. Tak tanggung-tanggung, banyak sekali barang yang mereka bawa. Karena tidak cukup satu minggu mereka pergi. Biaya yang dikeluarkan pun tak kalah banyaknya.

Seperti biasa mereka menyewa bus travel berkapasitas 12 orang. Saat semua sudah siap. Bus berjalan.

"Gak ada yang ketinggalan kan?" Tanya Daniel yang duduk di sebelah Gilang.

Semua serempak menjawab "engga"

Liburan kali ini mungkin akan terasa menyenangkan. Hanya saja Langit dan Marsya tidak bisa ikut. Mereka pergi ke Amerika bersama Ayahnya. Mereka bilang kalau sempat bakal nyusul, tapi entahlah. Mengingat baru saja kemarin mereka pergi ke Amerika.

"El, gue minjem bonekanya dong. Lumayan buat ganjel-ganjel" Kata Geeta yang duduk di sebelah Elina.

Saat Geeta berhasil mengambil boneka itu, Elina kemudian menariknya kembali dengan kasar.

"Geeta!"

Berbeda dengan Daniel yang sedang sibuk menghubungi Indra.

"Hallo, Dra.. kita udah di jalan tol nih. Lo mau otw kapan?"

Masih ingat dengan Indra?
Yah, kali ini dia sedang berada di rumah kaka ipar nya di Magelang Jawa Tengah. Jadi dia langsung berangkat sendiri.

Sementara itu, di kursi paling belakang Alwan dan Adel sedang bercanda. Bahkan suara tawa mereka mengganggu ketenangan Elina. Jujur saja, Elina ini sangat menyukai ketenangan.

Merasa ketenangannya terusik, bibir Elina maju beberapa senti.

"Rajin pangkal pandai.." Adel membaca kalimat itu beberapa kali membuat dia terus tersenyum, mengingat masa kecilnya yang selalu menemukan kata-kata itu.
"Udah ga jaman kayak gituan" timpal Alwan.

"Udah ga jaman gimana?"
"Sekarang tuh jamannya-"

"Apaan sih lo. Emang pribahasa ada kadaluwarsanya?"
"Rajin mangkal, kaya.. itu baru era sekarang"

"Itu sih lo yang suka mangkal. Lagian cowo-cowo masa mangkal, pantesan aja kosmetik ibu lo cepet abis"

"Tapi lo tetep cinta kan?" Kata itu mampu menohok hati Adel.

Terbesitlah di pikirannya nama dan wajah seseorang. Daniel. Entah mengapa sampai sekarang perasaannya masih tertaut pada pria itu.

Matanya kini mencari keberadaan Daniel. Sampai Alwan merasa heran akan tingkahnya.

"Ada apa?"

Adel menggelengkan kepalanya. Meraih ponsel dan mulai meninjakkan ujung jarinya pada layar ponsel.

****

Suguhan alam. Hamparan berwarna hijau. Sejuknya udara. Menjadi pelengkap perjalanan mendaki mereka.

Sulitnya medan tak menjadikan alasan bagi mereka untuk merasa jera dalam hal mendaki.

Menemukan ciptaan Tuhan yang tak dapat di temui di perkotaan.

Cinta dalam PersegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang