NESSIE - BAB IV

1.2K 12 0
                                    

Jam menunjukkan pukul 06:00 WIB, aku tidak tersadar bahwa aku terlelap dengan sendirinya. Aku melihat ke arah sampingku, Rey sudah pergi meninggalkanku. Saat ini aku merasa seperti pelacur yang hanya dibutuhkan ketika sedang datang keinginannya untuk bersetubuh. Aku rindu Rey yang dulu, yang sangat menyayangiku tanpa alasan apa pun. Aku mencoba membangun tubuhku ini yang merasa sangat sakit. Aku berjalan ke arah kaca kamarku. Aku terkejut ketika melihat wajahku lebam akibat pukulan Rey semalam. Seketika aku meneteskan air mata di hadapan kaca. Aku mencoba bisa beraktivitas kembali walaupun pikiran, hati, dan tubuh tidak meyakinkan untuk beraktivitas.

Aku berangkat ke kampus tanpa Rey yang mengantarnya. Aku berangkat menggunakan transportasi Taxi. Sesampainya di kampus, aku langsung ke kelas tidak menemui David terlebih dahulu. Aku tahu dia pasti menungguku di taman kampus seperti biasa. Aku sangat takut kalau sampai David tahu tentang semua ini. Aku sengaja duduk di paling belakang agar David tidak melihatku dan menanyakan keadaanku saat ini. Aku juga berusaha menutupi wajahku yang ada memar dengan memakai topi dan menggerai rambutku. Baru saja aku duduk, entah bagaimana caranya, dia mengetahui kalau aku sudah berada di kelas.

"Nessie," ia memanggilku dari pintu masuk kelasku.

Aku hanya menunduk tidak mau melihat ke arahnya. David pun mulai menghampiriku begitu cepat. Ia duduk di sampingku dan mulai membuka pembicaraan.

Ia menoleh, "Nes, kok lo—" dia menyadari luka lebam yang berada di pipi kiriku. "Ya ampun, Nessie! Siapa yang berani ngelakuin ini sama, lo? Jawab, Nes!" Dengan sangat panik David bertanya kepadaku.

"Dev," aku tidak berani menatapnya dan berusaha menahan isak tangis.

Aku langsung menghapus air mata ini karena aku takut satu kelas mengetahui bahwa aku sedang ada masalah.

"Ayo, ikut gue sekarang, nggak usah kuliah dulu. Gue takut lo kenapa-kenapa," David meraih tanganku dengan raut wajah cemas.

Aku menahannya agar tidak bangkit dari tempat duduk, "Lo mau bawa gue kemana, Dev?" Tanyaku.

"Udah ikut aja," ia kembali menarik tanganku dan berjalan ke arah keluar kelas.

David membawa aku keluar dari kelas dan mengajakku ke parkiran mobil. Aku sempat bingung karena yang aku tahu bahwa David hanya memiliki motor, dia tidak memiliki mobil.

"Ini mobil siapa, Dev?" Tanyaku heran.

"Mobil temen gue, barusan gue minjem, udah buruan naik," dengan tergesa-gesa David memasuki mobil.

Dalam pikiranku, "David baru mengetahui kalau aku lebam hari ini, bagaimana bisa dia sudah meminjam mobil secepat ini? Ahhh, yasudahlah!" Aku memberhentikan pertanyaan dalam pikiranku saat ini.

Di dalam mobil, aku hanya terdiam melihat kendaraan yang lalu lalang di jalan. Aku terkejut melihat David memukul-mukul stang mobil sambil menggerutu sendiri.

"Bangsat! Bisa-bisanya gue kecolongan begini, tai!" Dia menggerutu sepanjang perjalanan.

Ia meneteskan air matanya di hadapanku untuk pertama kalinya. Aku hanya bisa terdiam dan mengepal tangan karena takut bila aku membuka pembicaraan dengannya hanya bisa mengganggu konsentrasi David untuk mengendarai mobil.

Mobil pun akhirnya berhenti di Rumah Sakit. Aku menjadi tidak enak hati, ia berusaha keras untuk memperhatikan kehidupanku yang sudah sangat hancur ini.

"Dev, beneran gue nggak kenapa-kenapa kok, cuman luka kecil doang, besok juga udah ilang, Dev. Ayolah, nggak usah dibawa serius!" Aku mencoba meyakinkannya.

Tanpa basa basi sedikit pun, ia turun dari mobil, dan membukakan pintu untukku. David meraih tanganku kembali dan menarikku untuk masuk ke dalam Rumah Sakit tersebut. Di dalam ruang pemeriksaan, Dokter menjelaskan bahwa luka lebamku ini tidak terlalu parah karena hanya luka luar saja. Raut wajah David sudah mulai tenang dengan sendirinya. Ia tidak henti menanyakan keadaanku kepada Dokter dengan se-detail mungkin. Aku sangat yakin, bahwa dia sangat khawatir dengan keadaanku sekarang.

Sesudah pemeriksaan, Aku dan David kembali ke mobil untuk jalan pulang. Ketika kami sudah berada di dalam mobil, handphone-ku berdering yang menandakan ada telepon masuk. Aku melihat ke arah handphone-ku ternyata Rey yang menelpon. Seketika aku langsung mematikan telpon dari Rey tanpa berpikir panjang.

"Kenapa dimatiin?" Tanya David.

Aku hanya terdiam, memalingkan wajah, dan meneteskan air mata kembali. David menolehkan wajahku dan langsung mencium bibirku lembut. Ia menarik wajahku agar menghampirinya, ia menarik furing kursi yang ia duduki agar terbaring. Aku duduk dipangkuannya, ia membopongku agar ke kursi tengah bersamanya.

Ia memberhentikan ciuman ini, "Nessie, please! Rey, nggak pantas buat, lo! Gue nggak rela lo di giniin," ia merapihkan rambutku.

"Gue udah terlalu jauh, Dev," aku mengelus pipinya.

"Lo cinta sama, Rey?" Tanyanya.

Aku menganggukan kepala pelan.

"Kenapa lo menerima setiap gue, cium?" Tanyanya kembali.

Aku meneteskan air mata, "I don't wanna lose you! I'm sorry if I'm selfies! Please, kiss me!" Pintaku meremas lehernya.

Ia kembali menciumku, kali ini sangat agresif. Ia memainkan lidahnya di mulutku. Ia mulai menjalar ke leherku, ciumannya membuat aku merintih. Ia membaringkan tubuhku dan kembali mencium bibirku dengan agresif. Ia kembali memangkuku dan mencium bibirku semakin agresif. Ia menyudahinya dengan napas yang terengah.

"Lo nggak akan kehilangan gue, Ness! Please, tinggalin, Rey!" Ia memohon dengan napas yang terengah.

"Ketika waktunya tiba, gue sudah giving up dengan semuanya, gue pasti akan meninggalkannya, gue harus belajar melepasnya perlahan, apakah lo masih mau menunggu, gue?" Tanyaku yang terdengar sangat egois.

"Jawabannya iya," jelasnya singkat dengan tatapan meyakinkan.

Aku langsungmemeluknya erat setelah itu.

***********************************************************************************************

Thank you udah nungguin cerita ini update lagi,

Jadi kalian tim mana? Nessie David atau Nessie Rey? Tulis di kolom komentar ya

Jangan lupa tinggalin jejak votenya bestie!


Warm regards,


Wings of Alexandra 

NESSIE (18+) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang