Esok harinya. Hari ini adalah hari yang aku tunggu sepanjang malam kemarin. Setelah solat subuh bersama David, aku langsung membersihkan diri dan bersiap untuk pergi ke makam. Aku mengenakan baju muslim berwarna merah muda dengan hijab berwarna hitam. Aku sangat bersemangat hari ini, aku berias secantik mungkin untuk bertemu anakku.
David tiba-tiba memelukku dari belakang dan mengecup pipi kananku. "Cantik banget!" ujarnya dengan senyum semeringah.
"Makasih, tapi aku pantaskan dandan gini?" Aku meyakinkan.
"Pantas banget, kamu mau dandan gimana juga cantik kok." Dia memandangi wajahku yang ada di cermin.
Aku menepuk pergelangan tangannya yang berada di dadaku. "Aaaa, jangan gitu, aku malu," ujarku didampingi tawa kecil.
"Sebentar ya, aku panasin mobil dulu, habis itu kita berangkat." Dia mengecup pipiku kembali dan beranjak keluar rumah. Aku hanya mengangguk dan memberikan senyuman hangat untuk menanggapi perkataanya.
Tidak lama, kami akhirnya berangkat menuju makam. Di perjalanan, aku memperhatikan mobil dan motor yang berlalu lalang. Tidak henti aku tersenyum karena merasa sangat bahagia hari ini.
Aku melihat ke arah depan, David tiba-tiba membanting stir ke kiri karena ada mobil yang menyalip tanpa aturan. Aku berteriak dan menutup telinga. Aku hanya bisa memejamkan mata dan berteriak. "Awas, David!" berulang kali.
David menghentikan mobil di pinggir jalan. David menyetuk pundakku, aku berteriak dan menghindar dari sentuhannya. "Ness, aku di sini, nggak apa-apa ya, maaf aku nggak hati-hati." Dia mencoba menenangkanku.
Aku mulai mengatur napas dan membuka mata perlahan. David mengambilkanku minuman kemasan yang tersedia di mobil. Aku langsung meminumnya agar lebih tenang dari sebelumnya.
"Maafin aku ya, Ness." Dia mengelus pundakku berkala.
Aku mengangguk pelan. "I'm okay, sorry, aku nggak tahu bisa sampai membekas rasanya." Aku terbatah.
"Ya sudah, kamu tenangin dulu ya, baru nanti kita jalan lagi," ujarnya lembut.
"Nggak apa-apa, Dev, jalan saja, aku aman, lebih hati-hati lagi ya, pelan-pelan saja." Aku masih mengatur napas. David mengangguk dan tersenyum kepadaku.
Di makam
Aku menggenggam erat jemari David sejak turun dari mobil tadi. Jantungku berdegub sangat kuat, sepertinya aku gugup karena pertama kali mengunjungi makam anakku, Barra. Aku sudah melihat nisan yang dicari sejak tadi. Nisan yang bertuliskan nama Barra Hardiyata Bin Reyhan Daniswara.
Aku terkejut dengan nama yang ada di belakang Bin anakku. "Dev, ibu sudah tahu ini?" tanyaku cemas.
"Sudah." Dia memberikan senyuman.
"Bagaimana tanggapan ibumu?" Aku semakin cemas.
"Sudah aku jelaskan semuanya dari sebelum kita menikah, aku tidak bisa membohongi orang yang sudah melahirkanku."
"Kenapa kamu baru cerita sekarang?" Aku sangat bingung dalam situasi ini.
"Aku berpikir kamu lebih nyaman jika merasa ibu tidak tahu."
Aku meneteskan air mata haru. "Ibu baik banget!" ujarku, menghapus air mata yang mengalir. "Ibu nggak bersikap jelek sama aku, ibu baik banget."
"Ibu udah anggap kamu anaknya, Ness. Aku bersyukur dapat istri yang baiknya sama seperti ibu, Tuhan baik!" Dia mengelus-elus pundakku yang berada di dekapannya secara berkala.
"Barra, kamu punya Papa kenapa baik banget? Ibu sampai bingung mau cerita dari mana tentang Papamu ini." David hanya tertawa lepas mendengar perkataanku.
David mulai memimpin doa untuk mendoakan Barra. Dalam benakku saat ini, ternyata hidupku tidak sendiri, tidak seburuk yang aku pikirkan, bahkan banyak orang di luar sana yang bernasib sama denganku bisa saja tidak mendapatkan kebahagiaan seperti aku rasakan saat ini. Aku selalu berdoa kala terdiam untuk orang-orang yang bernasip sama denganku agar mereka mendapatkan kebahagiaannya. Aku beruntung memiliki David, ibu, ayah, dan teman-teman yang menjadi support system untuk hidupku.
Trauma memang akan membekas, tetapi aku selalu yakin, tidak ada luka yang tidak sembuh selagi kita berusaha mengobatinya. Tadinya, aku berpikir bahwa kesembuhanku dari segalanya hanya sia-sia saja, tetapi aku melihat lebih luas lagi dari bebagai macam sudut pandang. Mereka orang-orang yang mendampingiku selama ini, mereka bahagia melihatku bahagia. Tadinya, aku merasa hanya seonggok sampah yang sudah tidak ada harganya lagi, tetapi sekarang aku sadar, semua penempatan diri, kita sendiri yang menentukan mau di mana. Aku memilih tempat di mana aku bisa bahagia dan bisa menerima masa lalu mau pun masa depan yang akan datang nantinya.
"Barra, sebenarnya ibu masih kangen, tapi sepertinya sudah mau hujan. Ibu janji mau datang lagi nanti, pasti ibu nanti akan sering main ke sini," ujarku setelah usai membaca doa. "Titip salam buat eyangmu di sana ya, salam kangen dari ibu, Assalamuallaikum, anak ganteng."
"Waalaikumsalam, Ibu," sahut David. Aku menoleh dan memberikan senyuman kepadanya. "Ayo, Ness, kita pulang," ajaknya.
Aku mengangguk, aku menoleh ke arah makam anakku lagi. "Dadah, Barra!"
****
Satu bulan telah berlalu. Aku rasa, aku sudah kembali ke kehidupan normal walaupun belum sepenuhnya. Hari-hariku hanya diisi dengan menyiapkan sarapan dan bekal untuk David di pagi hari, lalu membereskan rumah, terkadang aku juga menyempatkan diri untuk mengunjungi Barra, dan kembali ke rumah untuk menyambut David pulang dari bekerja. David juga beberapa kali menyempatkan diri untuk menjemputku di makam ketika dia dapat pulang lebih cepat dari biasanya. Sepertinya kesibukan yang aku padati, membuat aku terlupa akan semua yang pernah terjadi.
Siang ini, aku pergi ke makam seorang diri menggunakan transportasi ojek online. Perjalanan hanya memakan waktu 20 menit saja untuk sampai di sana. Hari ini, aku membawa bunga mawar merah, kebetulan ini adalah bunga kesukaanku, aku rasa Barra akan suka dengan apa yang aku suka juga.
Aku melihat dari kejauhan, ada seorang laki-laki yang mengunjungi makam Barra. Dia sedang duduk tertunduk dan terlihat seperti menangis di sana. Aku mencoba mendekat untuk memastikan siapa yang sebenarnya ada di sana.
"Ayah nggak bisa melupakan semuanya, Ayah berdosa sama kalian, Ayah nggak bisa menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi," ungkapnya yang memandangi batu nisan Barra. Aku sudah meyakini, dia adalah Reyhan Daniswara yang mengunjungi makam Barra.
***********************************************************************************************
Akhirnya, Nessie memberanikan diri ke makam anaknya. Tapi, mengapa Reyhan ada di makam anaknya ya? Apakah dia menyesali perbuatannya selama ini?
Follow aku dulu yuk, agar kalian dapat notifikasi untuk cerita barunya. Jangan lupa vote dan berikan komentar setelah membaca ya, biar semakin semangat untuk lanjut ceritanya. Tunggu kelanjutan cerita Nessie ya!
See you and thank you so much, Bestie!
Warm Regards,
WINGS OF ALEXANDRA
KAMU SEDANG MEMBACA
NESSIE (18+) [END]
Lãng mạnCERITA KHUSUS (18+) Banyak kata-kata Vulgar dan Kasar. #1 HubunganToxic (20.01.23) #1 AnakKuliah (20.09.23) Sipnosis: Hidup penuh kebebasan, siapa yang tidak menginginkannya? Layaknya manusia biasa, kesepian pasti datang menyelimuti kehidupan. Nessi...