NESSIE - BAB XXXVIII

127 3 0
                                    

1 Minggu telah berlalu

Hari ini adalah weekend, di mana semua kegiatan sudah berhenti untuk rehat sejenak. David mengajakku untuk berpergian menggunakan mobil mengelilingi jalan ibu kota. Kandunganku sudah menginjak 6 bulan. Perutku sudah sangat membesar. Aku mengusap-usap perutku secara berkala, terasa nyaman sekali saat dirasakan.

"Nanti dia lahir, pasti dia akan langsung jatuh cinta sama kamu di pandangan pertamanya," ujar David dengan senyum hangat.

"Aaa, thank you, Dev! Dia juga pasti akan sangat menyayangimu," ujarku.

"Hmm, kalau dia laki-laki akan dikasih nama siapa?" Tanya David.

"Aku udah siapin, jika dia laki-laki, aku mau kasih nama Barra Hardiyata. Barra memiliki arti keteguhan dan berkah Tuhan, lalu Hardiyata diambil dari namamu. Jadi kalau aku dirumah, terus kamunya kerja, jadi aku bisa ditemenin Hardiyata yang satunya," aku tersenyum lepas.

David terlihat sangat bahagia mendengar penjelasanku, "Lalu, kalau anaknya perempuan?" Tanyanya kembali.

"Aurora Putri Hardiyata, Aurora artinya dia datang dengan keindahan."

"Okay, selalu ada namaku ya," guraunya.

"Harus, dia juga harus bangga punya Papa yang seperti kamu," jelasku.

Dia terlihat salah tingkah mendengar penjelasanku. Aku menepuk pundaknya dan dia hanya tertawa lepas setelah itu.

Aku melihat ke arah spion tengah yang berada di dalam mobil. Aku sangat mengenali mobil yang ada dibelakangku. Semua bentuk dan plat nomornya juga sama. Aku menoleh ke belakang berulang kali untuk memastikan, "Iya, benar! Itu mobil, Rey!" Ujarku dalam hati.

"Dev, Dev, itu Rey di belakang Dev, dia ngapain Dev," ujarku cemas.

David menoleh dan menancap gas agar lebih cepat menghindar dari kejaran Rey. David menambah kecepat, Rey seperti tidak mau kalah dengan David. Aku mencengkram sabuk pengaman dan memejamkan mata. Aku mencoba mengatur napas karena sangat panik. Aku tidak tahu tujuannya kali ini apa, namun aku yakin dia akan berbuat yang di luar kendalinya kembali.

"Rey, please stop, Rey!" Ujarku pelan secara berkala sejak tadi.

Aku tidak berani melihat jalan sedikit pun. Aku cemas, aku takut, aku mengeluarkan keringat dingin karena rasa takut dan cemas yang berlebih. Aku membuka mata, aku melihat David sangat berusaha keras untuk menghindar dari kejaran Rey. Dia yang berada di kanan kami beberapa kali berusaha menghimpit kami ke bahu jalan. Rey telihat membanting stir ke arah kami. David tidak bisa menghindar dan mobil menabrak pembatas jalan sangat kuat. Kepalaku terbentur kaca mobil hingga pecah, pandanganku kabur setelah itu, aku tetap tersadar walau bangkit pun terasa sangat sulit. Aku melihat perutku berlumur darah, tetapi aku tidak dapat berbuat apa pun karena benturan kepalaku cukup kuat. Pandanganku sangat kabur, pendengaranku juga sedikit menghilang. Aku masih bisa mendengar keramaian dari arah luar mobil, sepertinya warga yang berkerumun membantu kami. Aku mendengar suara David yang memanggil namaku berulang kali, aku sama sekali tidak dapat menanggapi apa pun. Pandanganku mulai gelap dan aku sudah tidak mendengar suara apa pun setelah itu.

****

Aku terbangun dalam keadaan panik. Perutku mengempes, tidak ada anakku di sana. Aku memeriksa perutku berulang kali, namun hasil tetap sama. Anakku sudah tidak ada diperutku. Aku menangis histeris mencari keberadaan anakku. David hadir dengan perban menutupi luka di dahinya.

"Anakku mana, Dev? Anakku mana?" Tanyaku dalam tangisan histeris.

"Maafin aku, Nessie, maafin aku," dia memelukku erat dan menangis dalam dekapan.

"Anakku nggak kenapa-kenapa kan, nggak apa-apa, kan? Bilang itu David, aku mohon sama kamu!" Tangisanku semakin histeris dari sebelumnya.

"Maafin aku, Nessie," ujarnya hanya itu sejak tadi.

Aku meremas baju David sangat kuat, "Nggak mau, David! Anakku masih ada, nggak mungkin! David!" Teriakku histeris.

Aku tidak berhenti menangisi keadaan. Aku tidak menyangka akan kehilangannya sebelum bertemu dengannya. Rasanya sangat hancur, aku sama sekali tidak bisa mendeskripsikan rasanya karena benar-benar sangat hancur.

"Rey ngambil anakku, David!! Aku nggak kuat!! Balikin anakku, Reyhan!" Teriakku histeris dalam tangisan. "Kamu kenapa diam aja, David! Anakku di mana, David!!" Ujarku berulang kali. Napasku mulai terisak dan pandanganku menggelap kembali.

****

Aku kembali terbangun. Aku melihat sekeliling seperti berada di dalam mobil kembali. Pandangan sangat jelas, Rey menghimpit kami hingga kami kecelakaan.

"David, Reyhan di belakang, Dev, tolong!" Aku kembali berteriak histeris.

David memelukku, "Sssshhh, ssshhh, nggak ada Rey ya, sssshhh," ujarnya berulang kali untuk menenangkanku.

Aku diam mematung setelah itu. David membantuku untuk merebahkan tubuh di atas kasur rumah sakit. Pandanganku kosong, pikiranku seperti hilang begitu saja, aku tidak bisa menanggapi apa pun dari yang otakku perintah. Aku kembali menangis karena memori tentang anakku kembali terulas.

"Rey udah bawa anakku, Dev. Kenapa kamu diam aja, anakku udah nggak ada, Dev," ujarku dalam tangisan.

David menggenggam jemariku dan menciuminya berulang kali, "Maafin aku ya, Ness," aku melihatnya meneteskan air mata.

"Anakku gimana, Dev? Udah nggak bisa balik lagi, Rey udah ambil anakku, Dev. Kenapa Rey, jahat sama aku, Dev? Kenapa?" Tangisanku semakin jadi saja.

"Iya, Sayang, iya, sabar ya," dia mengelus-elus kepalaku.

"Kenapa aku nggak mati sama anakku aja, Dev? Kenapa Tuhan selalu kasih cobaan ke aku terus? Kenapa, Dev?" Tanyaku dalam tangisan.

"Ssshhh, aku di sini kok, Ness. Sabar ya, Sayang ya," dia mengelus-elus pundakku.

Sepanjang hari aku hanya menangis histeris. Aku juga menyakiti tubuhku sendiri dengan memukul-mukul kepala berulang kali, mencakar-cakar tanganku dengan sangat kuat, dan menampar-namparkan wajahku sendiri dengan sangat kuat. Tekanan yang aku rasa melebih dari semua yang pernah aku rasakan sebelumnya. Aku sangat benci Rey dan aku juga benci diriku sendiri. Tanganku mulai diikat ke belakang dengan baju berwarna putih agar aku tidak menyakiti diri sendiri kembali. Teriakku semakin histeris setiap detik yang aku lewati. Perawat memberikanku cairan yang disuntikan di pergelangan tanganku. Aku tidak tahu apa yang telah diberikan, penglihatanku semakin berat setiap detiknya setelah itu. Pandanganku menggelap dan suara-suara di rumah sakit ini sudah tidak dapat terdengar kembali.

***********************************************************************************************

Gimana, Bestie? Cerita kali ini? Ikut merasa sedih dengan kehidupan Nessie nggak, sih? :(

Follow aku dulu yuk, biar nggak ketinggalan untuk cerita barunya. Jangan lupa tinggalin jejak dengan vote dan komentarnya, Bestie. Biar makin semangat untuk lanjut cerita Nessienya..

See you and thank you, Bestie!


Warm Regards,

WINGS OF ALEXANDRA

NESSIE (18+) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang