NESSIE - BAB XXXII

188 3 0
                                    

Setelah kepergian David, aku langsung masuk ke dalam kamar untuk merehatkan pikiran. Aku berjalan menuju kaca yang berada di pintu lemari pakaian. Aku membuka semua pakaian yang aku kenakan satu per satu. Aku meneteskan air mata saat melihat tubuhku di depan kaca. Perutku sudah membesar, aku merasa gagal menjadi perempuan dan seorang ibu. Aku tidak bisa mengendalikan untuk tidak berlarut dalam masalah ini.

"Nessie, kamu dilumurin dosa, tubuh kamu sudah ada di mana-mana, kamu sampah, kamu pelacur!" Aku mengucapkannya di depan kaca sambil menangisi keadaan yang ada. Aku memejamkan mata dan menggelengkan kepala cepat, "Nggak, Nessie! Sekarang kamu punya David dan anak kamu! Seharusnya kamu lebih tegar dari sebelumnya!" Aku duduk di atas kasur sambil mengusap-usap kepalaku. "Tapi mau sampai kapan penderitaan ini? Ya Tuhan, Nessie lelah banget!" Lanjutku.

Aku berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sepertinya mandi bisa menenangkan pikiran sejenak. Pikiranku campur aduk, aku tidak bisa memilah jalan mana yang harus aku ambil. Aktivitas sangat acak yang aku pilih. Ketika tindakan satu muncul, aku memilih yang terlintas saja. Aku rasa, aku mulai gila saat ini.

Aku mengguyur tubuhku dengan air dibawah pancuran air. Aku hanya terdiam berdiri dibawah pancuran air, tidak mengusap tubuhku dengan sabun mau pun membersihkan kepalaku dengan shampoo. Aku mematikan pancuran air dan memakai handuk setelah itu. Aku memakai pakaian yang se-dapatnya saja. Aku kembali duduk di atas kasur dengan tatapan kosong menghadap kaca. Aku meneteskan air mata kembali melihat wajah dan tubuhku.

Aku berteriak sekuat tenaga lalu memukul-mukul kaca yang berada di lemari hingga pecah, "Aku benci, diri aku sendiri!" Teriakku berlutut melihat pecahan kaca. Aku mulai meng-cutting pergelangan tanganku menggunakan pecahan kaca berulang kali. Aku sangat frustasi, aku tidak kuat lagi menjalani hidup ini. Aku melempar pecahan kaca ini dan kembali berteriak sekuat tenaga. Aku memukul-mukul kepalaku berulang kali dengan sangat keras menggunakan kedua tanganku. Aku menjambak rambutku dengan sangat kuat sambil menangis histeris. Aku merebahkan tubuhku di lantai, aku sangat lemas, aku benar-benar tidak berdaya.

"Ya Allah! Nessie!" Aku mendengar suara Tiffany dari arah pintu kamarku.

Aku mencoba bangkit dengan tangan penuh luka dan tubuh yang tidak berdaya ini, "Kalian ngapain, ke sini? Mau lihat secara langsung penderitaan gue, ya?" Aku tertawa dalam tangisan.

Tiffany dan Kinan langsung bergegas membantuku bangkit dan membawaku pergi. "Kalian nggak perlu susah-susah! Gue mati juga banyak yang senang!" Aku kembali tertawa dalam tangisan. Aku dibopong oleh mereka berdua menuju mobil Tiffany.

Di dalam mobil, aku kembali menangis histeris. Tanganku digenggam erat oleh Kinan agar tidak kembali memukul-mukul kepala sendiri. Aku berulang kali berteriak ingin mati, ingin pulang, dan ingin pergi dari dunia ini. Aku tidak bisa mengontrol tubuh serta pikiranku sama sekali. Hidupku terasa sangat hancur, saat ini benar-benar tekanan yang sangat hebat. Aku tidak kuat untuk menahan beban hidupku lagi.

Tiffany terdengar menelepon David yang sedang bekerja. Aku memohon kepadanya agar tidak memberitahunya, aku tidak ingin menyusahkan hidupnya lagi. "Please, jangan kasih tahu, David!" Teriakku.

"David harus tahu masalah ini! Sorry, Nessie!" Tegas Tiffany. Aku kembali menangis histeris di kursi tengah. Dalam pikiranku sekarang hanya ingin mati dan mati saja.

"Halo, David. Nessie lagi gue bawa ke rumah sakit sekarang. Dia cutting tangannya sendiri, daritadi dia minta mati terus-menerus. Tolong, ke rumah sakit biasa sekarang, ya!" Tiffany diam sejenak. "Okay, kita ketemuan di sana, ya!" Tiffany mematikan telepon setelah itu.

"Gue mau pulang, gue lelah di sini!" Ucapku dalam tangisan.

"Iya, Ness, iya, sabar ya, Ness!" Ujar Kinan.

Sesampainya di rumah sakit, aku berontak untuk diperiksa oleh dokter. Di ruang IGD, perawat memegangi tanganku agar dapat dijahit luka robek yang ada di tanganku. Perawat memberikanku obat, namun aku lempar, dan kembali menangis histeris setelah itu.

David memasuki ruang tindakan, "Nessie, Sayang, tenang ya, aku di sini, ssshhh, sshhh," ujarnya menenangkanku. Aku bisa melihatnya berlinang air mata. Aku masih bisa merasakan rasa khawatirnya kepadaku.

"Dev, mau pulang, ayo pulang," ujarku dalam tangisan.

"Iya, iya, diminum dulu obatnya, habis itu pulang," David mengelus kepalaku secara berkala.

"Tapi pulang ya, janji ya, Dev, aku nggak mau di sini," ujaku yang masih terisak.

"Iya, nurut dulu ya, sama Dokternya," dia mengecup keningku.

Aku mengangguk pelan dan David membantuku untuk meminum obat ini. David mengalihkan pikiranku dengan berbicang hal-hal yang tidak penting menurutku. Semakin lama, aku semakin mengantuk setelah meminum obat ini. Perbincangan ini tidak berlangsung lama, aku tertidur dengan sendirinya sambil menggenggam pergelangan tangan David.

****

Tidak tahu aku sudah tertidur berapa lama di sini. David adalah nama pertama yang aku panggil saat tersadar. Aku mencari keberadaannya, dia tidak ada di ruangan ini. Aku memanggil namanya berulang kali karena merasa resah berada di ruangan ini sendirian. Aku melihat pergelangan tanganku dibaluti perban karena luka robek yang aku alami. David membuka pintu kamar rawat ini dan memberikan senyuman kepadaku.

"Katanya aku bakal pulang, kenapa masih, di sini?" Rajukku.

David duduk di atas ranjangku, "Iya, makanya kamu sembuh dulu, nanti kita pulang ya," dia mengelus pipiku berkala.

"Kan aku nggak kenapa-kenapa, pulang aja ya," aku memohon kepadanya.

"Mana nggak kenapa-kenapa? Itu aja tangan masih digulung perban," ujarnya.

"Nanti juga sembuh kok. Dev, ayuk, aku mohon," aku menggenggam pergelangan tangannya.

"Iya, nurut saja sama Dokter ya, biar cepat pulang, aku temenin kok," jelasnya meyakinkanku.

Aku mengangguk pelan dan tidak menatapnya.

"Senyumnya mana? Aku kangen nih," dia menaikkan daguku. Aku tersenyum ragu kepadanya. "Yang ikhlas dong buat aku senyumnya," godanya. Aku tersenyum lepas mendengar perkataannya. "Nah, gitu dong," lanjut David mencubit daguku.

David memeluk tubuhku erat, dekapannya membuat aku merasa terjaga dan disayangi. "Maafin aku ya, Dev," ujarku dalam dekapan.

"Kenapa minta maaf, Ness?" Tanyanya mencium keningku yang berada di dekapannya.

"Nggak apa-apa, aku merasa menyusahkan saja," jelasku menghela napas panjang.

"Nggak menyusahkan kok, Ness," dia mengelus-elus punggungku.

Aku melepaskan dekapan, "Tiffany sama Kinan, ke mana?" Tanyaku.

"Sudah pulang, besok mereka main lagi ke sini katanya, tenang aja ya," jelas David. "Malam ini," dia mengecup keningku. "Ditemenin sama aku dulu," dia mengecup bibirku berkala. Aku hanya bisa tertawa kecil karena tingkahnya.

***********************************************************************************************

Makin sedih baca cerita Nessie nggak, sih? :((( Terima kasih ya, masih senantiasa nemenin Nessie hingga BAB ini, semoga kalian suka dengan ceritanya.

Jangan lupa follow aku dulu yuk, agar kalian nggak ketinggalan untuk update cerita barunya xoxo :P

Jangan lupa juga buat vote dan berikan komentar setelah membaca ya, karena support kalian berharga banget, Bestie! :))) Tunggu kelanjutan cerita Nessie ya!

See you and thank you, Bestie! :*


Warm Regards,

WINGS OF ALEXANDRA

NESSIE (18+) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang