Terbangun dalam kondisi buruk tidak lagi asing bagi Jiang Cheng, tapi sampai sekarang ia masih belum terbiasa dengan rasa sakit setiap kali seseorang baru saja menidurinya. Hujan semalam sudah berhenti turun, menyisakan genangan air di ember kayu dan di lantai.
Ikatan pada pergelangan tangannya sudah lama dilepaskan, hanya tersisa bekas kemerahan yang tidak menyenangkan sama sekali. Tubuh telanjang Jiang Cheng dibiarkan polos tanpa sehelai benangpun, ia mendengus, meraih ember yang berisikan air dan mencuci wajahnya kasar.
Matahari di luar sana sangat cerah, dari kejauhan Jiang Cheng bisa melihat seseorang membawa nampan dan berjalan ke arahnya. Tidak ada ekspresi khusus di wajah orang itu, sesampainya di hadapan Jiang Cheng dia hanya meletakkan nampan berisikan makanan dan pakaian bersih, lantas pergi begitu saja.
Melihat itu Jiang Cheng tertawa pahit, beginilah hidupnya. Ia bukan peliharaan yang di sayang, tetapi pemiliknya terus memberikan makanan agar dia bertahan hidup. Ia hanya budak yang digunakan untuk melampiaskan nafsu dan amarah.
Tangan Jiang Cheng mengeledah tumpukan pakaian itu dan menemukan botol berisikan bubuk pembeku darah. Tanpa banyak bertanya lagi ia menaburkannya pada punggung yang telah dipenuhi luka cambukan dan memar itu. Jiang Cheng bisa jadi putus asa, tapi dalam keputusasaan itu dia tidak berniat menghabiskan waktunya dengan lebih menderita dari sekarang.
Begitupula dengan makanan di atas piring, Jiang Cheng yang walaupun merasa terhina di dalam hati, tetap saja membuka mulutnya untuk mengunyah dan menelan makanan itu.
Jiang Cheng menatap keluar lewat pintu yang terbuka, di luar sana begitu indah. Jiang Cheng selalu ingin melangkahkan kakinya keluar dan melihat secara jelas pemandangan Dermaga Teratai saat ini. Apakah secantik sebelumnya? Apakah masih secantik saat Sekte Wen belum menghancurkannya? Jiang Cheng sungguh ingin melangkah keluar, selama ini biasanya ia akan mendekat, duduk di ambang pintu dan mulai melamun. Toh, tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain duduk diam dan menurut.
Namun hari ini ia harus melewatkan kebiasaan itu, sejak kedatangan Wen Chao semalam membuat kedua pergelangan kakinya bengkak dan tidak mampu berjalan lagi, pun Jiang Cheng malas untuk menyeret tubuhnya hanya demi melihat beberapa burung yang terbang bebas, membuatnya iri saja, menyalahkan surga atas semua kemalangannya.
Menggunakan jarinya Jiang Cheng menyisir rambut panjangnya yang kusut, baru kemudian meraih jubah dalam tipis berwarna putih, mengenakannya dan duduk diam. Apa kegiatannya selanjutnya? Sederhana, menunggu orang lain untuk menjamahnya.
Jangan marah, itu tidak berguna, tidak akan mengubah apapun. Percayalah, karena Jiang Cheng sendiri sudah mencobanya dan itu tidak berhasil sama sekali. Pintu gudang yang terbuka membiarkan siapapun bisa melihat kondisi Jiang Cheng saat ini, beberapa orang yang lewat menatap penuh rasa jijik, beberapa yang lain memiliki simpati, namun sebagian besar hanya dipenuhi keinginan untuk melecehkan.
Samar-samar Jiang Cheng selalu bisa mendengar percakapan para pelayan yang berseliweran di sekitarnya. "Ini sudah dua tahun berlalu, aku tidak percaya Wen Zongzhu masih membiarkan Jiang Cheng hidup," ujar salah satu dari mereka, orang yang diajak bicara itu menjawabnya dengan tawa, "Yah, tidak ada yang bisa menebak apa yang dipikirkan oleh Wen Zongzhu. Mungkin beliau memikirkan para kultivator yang perlu menyalurkan hasrat mereka, jadi ia menyimpan orang itu sebagai pelacur mereka."
"Sungguh malang, siapa yang menyuruhnya memiliki mulut yang begitu tajam. Kini Wen Zongzhu benar-benar menunjukkan padanya apa itu hidup lebih buruk dari kematian."
Suara tawa semakin ramai, sepertinya bukan hanya rombongan satu dua orang saja. Suara itu terdengar semakin keras, sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu dan tidak lupa melihat Jiang Cheng seolah ia adalah hewan tontonan yang menarik. Tanpa rasa takut seseorang kembali bicara sambil menatap rendah pada Jiang Cheng, "Ini bahkan bukan kehidupan yang diinginkan para pelacur di luar sana. Apa kau dengar apa yang dikatakan Wen Er Gongzi mengenai Jiang Cheng?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Darkness : XiCheng
FanfictionSekte Jiang jatuh dalam kegelapan. Tidak ada yang bisa mengulurkan tangan untuk menarik Jiang Cheng dari kubangan lumpur yang menenggelamkannya. Bagaimana jadinya jika Jiang Cheng yang kehilangan inti emasnya tidak pernah bertemu dengan Wei Wuxian? ...