Jiang Cheng yakin seratus persen jika ia tidak mengantuk sama sekali sebelumnya, maksudnya adalah...ia sudah tertidur sejak ia tiba di tempat ini dan baru terbangun saat sore hari, lantas tidak lama kemudian ia kembali tertidur pulas hingga pagi hari setelah mandi. Jiang Cheng merutuki dirinya sendiri, mengerang di atas tempat tidur dengan kepala pening.
Kepala dengan rambut berantakan itu terangkat untuk melihat sekelilingnya, Jiang Cheng menghembuskan napas panjang, belum terbiasa dengan perubahan ini. Mulutnya terbuka lebar saat menguap, udara dingin menyeruak dari ventilasi di atas pintu, memaksa Jiang Cheng merapatkan selimutnya.
Dengan mata berkaca-kaca akibat mengantuk Jiang Cheng mendorong daun jendela dan membukanya, kemudian Jiang Cheng menyandarkan sikunya pada ambang jendela, mengamati sekitar dengan saksama. Tidak ada pemandangan yang istimewa. Hanya ada sebuah halaman kecil yang dikelilingi oleh ruangan lain, kolam yang dikeringkan di tengahnya, serta beberapa bekas api unggun yang berserakan.
Tiba-tiba saja angin berhembus dengan kencang, Jiang Cheng yang terlambat bereaksi pasrah membiarkan jendela yang tertiup angin menjepit jemarinya. "Sial!" Pekik Jiang Cheng tertahan, ia mengerang kesal sambil memijat jari-jarinya yang bergetar.
Huft...tidak apa-apa, Jiang Cheng memejamkan matanya dan terus meyakinkan dirinya jika semua ini jauh lebih baik daripada sebelumnya. Setidaknya ia bangun di atas ranjang yang hangat. Setidaknya ia tidak perlu memikirkan siapa yang akan datang dan pergi untuk mempermalukannya. Setidaknya ia tidak menginjakkan kaki dimana bajingan-bajingan Wen pernah menginjakkan kaki mereka.
Dengan menekankan pikiran itu Jiang Cheng berhasil menenangkan emosinya, walaupun ia masih membanting kasar daun jendela saat memaksanya untuk terbuka.
Bahunya bergetar, dadanya yang bidang merasa sesak, namun Jiang Cheng keras kepala, tidak bergerak dari ambang jendela. Melihat khusyuk pada pemandangan matahari terbit yang tidak terlalu indah. Yah...mau bagaimana lagi, tidak setiap hari dalam dua tahun terkahir Jiang Cheng dapat melihat matahari terbit.
Sepasang mata almond itu tampak sayu, bulu matanya bergetar ringan sebelum sempurna terpejam. Jiang Cheng meremas tangannya sendiri. Saat ia kembali membuka matanya, tatapan sayu itu tertuju pada telunjuk tangan kanannya, sebuah luka bakar melingkar ada di sana.
Jiang Cheng tertawa ringan, sejujurnya itu sebuah tawa sinis. Tahun itu, setelah ia tertangkap oleh Sekte Wen dan inti emasnya dihancurkan, Wen Ruohan menyeret tubuhnya yang lemah dan tidak berdaya kebawah singgasana aula pertemuan Dermaga Teratai.
Ingatan akan sosok berjubah merah itu tidak akan pernah bisa hilang, Wen Ruohan yang duduk dengan arogan, tangannya menyangga malas di dagunya, "Idiot." Kata pertama yang terucap dari bibir Wen Ruohan.
Saat itu Jiang Cheng hanya tertunduk lesu, satu-satunya hal yang membuatnya bisa berlutut dengan tegak adalah tekadnya untuk melemparkan tatapan membunuh. "Aku bersumpah...suatu hari...Sekte Wen akan jatuh...uhuk! Jatuh dalam kehancuran! Uhuk! Uhuk! Dan kau! Wen Ruohan...aku sendiri yang akan...uhuk! Menggali jantungmu!"
"Diam!" Sentak seorang kultivator sambil menyodokkan pangkal tombak pada perut Jiang Cheng.
Jiang Cheng mengerang lemah, kemarahan meledak di dalam hatinya saat kekehan dingin Wen Ruohan terdengar, namun ia tidak bisa melawan lagi.
Wen Ruohan, "Apa itu yang diajarkan Jiang Fengmian padamu? 'Mencoba hal yang tidak mungkin'?"
"Di..!!" Jiang Cheng ingin berteriak 'Diam!', namun secepat kilat Wen Ruohan menuruni singgasananya dan menendang Jiang Cheng hingga berguling dan menabrak dinding. Langkah kaki Wen Ruohan yang mendekatinya membuat Jiang Cheng awas, sekuat tenaga ia berusaha memasang posisi bertahan, tetapi tendangan Wen Ruohan datang lebih cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Darkness : XiCheng
FanfictionSekte Jiang jatuh dalam kegelapan. Tidak ada yang bisa mengulurkan tangan untuk menarik Jiang Cheng dari kubangan lumpur yang menenggelamkannya. Bagaimana jadinya jika Jiang Cheng yang kehilangan inti emasnya tidak pernah bertemu dengan Wei Wuxian? ...