Prolog

7.2K 703 15
                                    

Here we go, semoga suka dengan ceritanya.

Khusus cerita yang ini, saya akan upload duluan di Karyakarsa ya, update cepat di sana dan slow di wattpad, anyway still I'll update versi wattpad nya sampai selesai nanti, hanya saja slow.

Bab 1 dan 2 sudah bisa akses di Karyakarsa ya.

Boleh follow saya di sana juga.

Enjoy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enjoy

Luv,
Carmen
____________________________________________

Gerald Cunningham melajukan Ferrari-nya dengan kencang di Interstate 5 sementara musik rock berdentam di dalam kendaraan mewah tersebut. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh ketika ia melintasi highway tersebut untuk kembali ke Los Angeles. Perkiraannya, ia akan tiba sebelum jam sepuluh dan mungkin masih bisa berkumpul dengan teman-temannya di klub dan menikmati beberapa gelas minuman sebelum kembali ke penthousenya.

Sebenarnya ia kesal. Rencananya adalah menghabiskan akhir minggu yang menyenangkan di rumah pantainya sambil berolahraga air di Mission Bay. Tapi Edgar, kakak lelakinya yang gila kerja, menelepon Gerald, menceramahinya tentang tanggungjawab.

'Di mana kau?'

'San Diego.'

'Apa yang kau lakukan di sana?'

'Berakhir pekan. Kenapa memangnya?'

Terdengar gerutuan tak senang lalu Edgar memulai kembali kebiasaannya, yaitu mengomeli Gerald. 'Bisa-bisanya kau memikirkan akhir pekan di saat-saat begini?'

'Kenapa tidak?'

'Kau harus kembali sebelum Senin. Ingat, kau harus menggantikanku mengunjungi pabrik Luxec di San Jose."

Gerald belum hilang ingatan. Pabrik mobil elektrik itu adalah salah satu perusahaan yang dicaplok grup mereka untuk memperbesar kerajaan bisnis Cunningham.

'Ya, aku tahu.'

'Seluruh tim akan briefing di Hari Minggu besok. Kau harus hadir...'

'Ed, aku bisa bergabung lewat zoom...'

'Kau, seluruh fisikmu, harus hadir di ruang pertemuan kantor kita, besok, tepat jam 10 pagi. So you bring your ass back today, end of discussion.'

Jika diturutkan kehendak, Gerald ingin mematikan ponsel dan melanjutkan liburan akhir pekan yang sudah lama dirancangnya serta mengabaikan Edgar. Memang sudah menjadi hobi Edgar untuk merusak rencananya. Tapi pada akhirnya, Gerald tidak sampai hati melakukannya. Lagipula ini demi Grup Cunningham dan perusahaan mobil elektrik ini sangat penting. Untuk mendapatkannya, ayahnya sudah berusaha keras, mungkin pria tua itu sudah memanfaatkan semua keistimewaan dan koneksi yang dimilikinya. Well, itu berarti Gerald bisa mengucapkan selamat tinggal lebih awal pada San Diego dan kembali ke LA, Sabtu sore itu juga.

Ia sudah berkendara selama satu jam ketika menyadari bahwa langit semakin gelap. Bukan, bukan jenis gelap karena matahari tenggelam dan malam datang, tapi gelap yang ini lebih meresahkan. Padahal Gerald sudah mengecek prakiraan cuaca dan tidak disebutkan bahwa akan ada curah hujan di daerah ini. Namun perubahan cuaca di tempat ini memang selalu tak terduga. Baru seminggu yang lalu badai menerjang tempat ini, dua hari setelahnya cuaca begitu cerah sehingga tak akan ada yang percaya kalau badai baru saja berhenti, lalu hari ini... Siang begitu terik dan sekarang rintik-rintik hujan mulai turun, butirannya kini semakin besar. Di langit sana tampak kilat dan petir saling menyambar.

"Hebat," gerutu Gerald.

Hujan dan kabut memperpendek jarak pandang dan Gerald mulai kesulitan. Ia memaki pelan saat koneksi GPS nya terputus. Bahkan signal ponsel juga hilang. Seharusnya, jika menghitung jarak normal, ia sudah tiba di exit selanjutnya. Tapi hujan mengaburkan jarak dan membuat Gerald sedikit bingung.

"But it should be around here," ucapnya pada diri sendiri sambil mengecilkan volume musik.

Ia memperlambat laju kendaraannya dan berbelok ke interstate selanjutnya. Tempat itu sudah gelap total dan sepertinya Ferrari Gerald adalah satu-satunya penghuni jalan. Ia terus berkendara sekitar 30 menit dan melihat salah satu petunjuk jalan. Route 115.

"Route 115," gumamnya. Ia baru dua kali ke rumah pantainya dan Gerald tak ingat apakah Route 115 bisa membawanya kembali ke Interstate selanjutnya. Tapi harusnya bisa. "Worst come to worst, it would lead me to somewhere too." Dan saat koneksinya kembali, Gerald bisa membiarkan GPS memandunya kembali ke highway utama.

Tapi hujan lebat dengan cepat berubah menjadi sesuatu yang lebih dahsyat. Gerald jarang merasa kecut tapi saat ia tahu badai itu mendekat, nyalinya menciut juga. Ia bukan orang tolol, ia tahu resiko mengendarai mobil di cuaca begini, apalagi di jalanan seperti ini, di tempat asing yang tak dikenalnya dengan baik pula.

Setelah dua puluh menit berkendara dan masih gagal menemukan apapun selain jalan, Gerald mulai memaki. Kali ini, ia memaki Edgar. Gara-gara pria itu, ia sangat mungkin terjebak badai di salah satu jalan antar negara bagian yang sepi, di malam hari lagi.

Saat lampu mobilnya kemudian menyoroti salah satu tikungan, Gerald membelokkan mobil. Jalan itu agak curam dan kecil, tapi pasti menuju ke pemukiman. Ada banyak desa-desa pinggiran juga kota-kota kecil yang tersebar di bagian county ini. Pasti tidak sulit menemukan tempat untuk berteduh dan mungkin juga meminjam telepon, jika Gerald beruntung.

Tapi jujur, setengah jalan, Gerald mulai menyesali keputusannya. Jalan ini bukan hanya curam, namun semakin sempit dan kiri kanannya terlihat seperti sesemakan tinggi, nyaris menyerupai hutan kecil. Ditambah hujan yang menerpa kaca mobil depannya, belum lagi kilat yang menyilaukan lalu guntur yang bersahut-sahutan, Gerald akan berbohong bila ia tak sedikit panik. Mungkin karena itu juga, ia terlonjak hebat saat... entahlah, mungkin seekor binatang, kancil, kambing... rusa... entahlah, Gerald tidak tahu, ia hanya tahu sesuatu melesat cepat di depan mobilnya dan Gerald tersentak hebat. Tanpa sadar, hanya refleks, ia menekan pedal gas dan sejenak ia kehilangan kendali setir. Dan apa yang menanti di depannya membuat darah Gerald seolah menguap dari tubuhnya. Secepat kilat, ia membanting setir untuk menghindar tabrakan dengan pohon besar di depannya.

Mobil Gerald berbelok tajam keluar dan semakin menjauh dari jalur sempit itu, terhentak keras di antara semak belukar berbatu dan saat Gerald pulih dari keterkejutannya, ia mendapati rem mobilnya tak berfungsi.

"Sial, sial, sial!" makinya.

Jika ia selamat, maka hal pertama yang akan dilakukannya adalah membawa mobil ini ke tempat rongsokan dan menyaksikannya diremuk menjadi besi bekas.

Itu adalah pikiran sadar terakhir sebelum mobil itu meluncur bebas dan menabrak sesuatu yang keras.

Guncangan itu kuat, Gerald harus bersyukur ia tak terlempar dari mobil namun ia tak punya waktu buat semua itu. Dahinya terantuk keras ke setir dan segalanya menjadi gelap.

The Billionaire's CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang