XI Multimedia 2
Ya, harusnya Winnie sadar sejak awal bahwa tak mungkin Gibran Athala si pemuda ramah tamah itu tidak akan masuk jurusan selain berhubungan dengan kamera.
Benda hitam berkalung itu memang kehidupannya. Winnie bukan sok tahu, tapi yang jelas Gibran Athala mungkin sudah secandu itu membidikkan lensa kamera pada apa pun yang menurutnya menarik perhatian.
Upacara tadi, Winnie melihat pemuda itu mondar-mandir menangkap gambar dengan lihai. Santai dan berefek besar bagi Winnie yang hanya berdiri di antara banyaknya siswa si lapangan pagi itu.
Sama seperti Gibran Athala yang secandu itu dengan kamera, baik hal nya dengan Winnie yang secandu itu dengan Gibran.
Tiap detik, rasanya debaran jantungnya siap membludak kapan saja.
Dan disinilah ia berdiri, gugup dan takut. Winnie memegang erat-erat kertas dalam genggaman. Mematung kaku di depan pintu, menunggu keberanian itu muncul ke permukaan.
Winnie malu, dan dia grogi.
Belum sempat kepalan tangannya mengetuk pintu bercat cokelat itu, sosok lain muncul dengan wajah terkejutnya.
"Eh anjing!"
Winnie termundur sama-sama kaget bukan main, kelopak matanya membesar, hampir tersandung tempat sampah didekat pintu kalau saja ia tidak bisa menyeimbangkan tubuh.
"Ari kamu ngapain di sana?"
Sementara pemuda dengan poni berantakan itu, tampak bersungut-sungut. Winnie gelagapan, menundukkan badan beberapa kali menggumamkan maaf dengan lirih.
"Maaf, Kak. Tadi... tadi... ini.. " Balasnya pelan, menyodorkan kertas dalam genggamannya sebagai alasan ia datang kesini.
"Ya atuh-"
"Kunaon sih Sa? Aya saha?" (Kenapa sih, Sa? Ada siapa?)
Keduanya kontan menolehkan kepala. Kontras dengan pemuda berponi tadi yang bersungut-sungut, Winnie justru mengerjap lambat melihat Gibran Athala yang baru keluar sembari menyugar rambut hitam lebatnya.
"Eh, Winnie?"
Rasanya Winnie ingin menjerit saat ini juga saat namanya disebutkan dengan lembut oleh bibir Gibran sendiri, di hadapannya saat ini. Terlambat untuk menyesal, Winnie menunduk gugup melangkah pelan dengan kaki gemetar.
Wajahnya sudah memerah, merona hingga ke telinga. Diam-diam menggigit bibir menahan jeritan senang yang membuncah.
"Saha?" (Siapa?) Mendengar tanya, Winnie sedikit melirik name tag yang tertera di seragam pemuda tadi.
Linggacahara Harsa.
"Adik kelas." Gibran menyahut tenang, kemudian kembali memusatkan perhatiannya pada Winnie yang lagi-lagi salah tingkah hanya bisa menyodorkan kertas.
"Walah, udah dapet cemceman aja." Katanya menggoda, dihadiahi tepukan pelan pada bahu kanan pemuda bernama Harsa itu. "Ati-ati, dek. Si Iban ceweknya banyak."
Kemudian setelah itu, sebelum Gibran menempeleng kepalanya, pemuda yang dipanggil Harsa itu kontan berlari dengan tawanya yang menggema.
"Maaf ya, jangan di dengerin."
Winnie hanya bisa mengangguk dengan tundukan kepala kian semakin dalam. "Nggak papa, Kak."
"Jadi ada keperluan apa ke sini?"
Winnie agak berdehem singkat, berani mengangkat kepala menyodorkan kertas dengan tangan gemetar serta wajahnya merona. Pandangan matanya beberapa kali lari menghindar mengamati apa saja selain netra hitam pemuda itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/312995957-288-k17427.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling In Silence
Teen Fiction❝ Sadar atau tidak, pengagum rahasia itu orang ketiga. Dan mungkinkah kamu termasuk ke dalam orang-orang itu? ❞ Started on June 2022 © Chocolalayu