13. Off My Face

381 109 25
                                    







Pukul setengah enam, menuju malam.

Rintik-rintik hujan sore itu masih setia turun. Menemani suasana menyejukkan tiada henti keduanya. Dibawah langit senja, bersama alunan musik yang mengalir dalam earphone yang tersumpal antara mereka.

Winnie rasa ini mimpi.

Disaat Gibran mengatakan ingin menemaninya disini selama hujan turun dan mengajaknya pulang bersama, Winnie sudah kehilangan kata saking terkejutnya. Menariknya, pemuda itu meraih earphone yang terpasang di salah satu telinga Winnie. Untuk ia pasangkan pada sebelah telinganya.

Mimpi, ini hanya khayalan Winnie. Benar, Winnie sudah mengulang kata-kata itu beberapa kali dalam hati. Seolah menarik kesadarannya bahwa ini tak nyata, Winnie tidak bisa menikmati harapan yang terlampau jauh dari kenyataannya.

Tapi, Winnie masih belum di rumah. Dia belum ingin tidur. Dia tidak sedang menunggu kantuk datang dengan membuat skenario menyenangkan hati bersama sang pujaan di dalam bayangan kepala.

Ini masih di terminal bus untuk menunggu angkutan umum lewat. Dan kebetulan hujan turun membuat ia harus menunggu sejenak, hingga petang mulai terlihat.

Dan Gibran datang. Menyapanya, menemaninya disini.

Ini nyata. Gibran memang sedang disampingnya. Memejamkan mata menikmati alunan musik yang terputar, bersama senandung lirih yang keluar dari dua bilah bibirnya.

Winnie mengerjap lambat, masih membeku tak sadar. Sekali lagi, ia menolehkan kepala. Hanya memastikan ini benar Gibran. Bersama dengan itu, kelopak mata Gibran ikut terbuka. Menoleh, menyambut tatap mata Winnie yang malah diserang kekaguman.

"Kenapa, Win?"

Sadar. Lonjakan jantungnya seperti jatuh merosot kala tatapan lembut Gibran penuh dalam pandangannya. Menarik kesadarannya yang masih jauh di awang-awang sana.

Winnie menarik diri, melarikan pandangan mengusapi pipi grogi. "Eh, nggak, itu, nggak papa."

"Hn?" Gibran memiringkan kepala, mengangkat kedua alisnya bingung. "Ada sesuatu di wajah aku?"

"Eh?" Sekali lagi, Winnie malah terperanjat kaget. Dia refleks menggeleng cepat, "Nggak! Nggak ada kok, aman. Hehe."

"Terus kenapa kamu ngeliatin aku terus daritadi?"

"Euu.... itu...." Winnie memperbaiki untaian rambut yang masih lembab, menghilangkan kegugupan yang mendera. "Cuma liat mereka aja!"

Tolehan kepala Gibran memutar pergerakan memandangi seseorang disana. Sama-sama terjebak hujan, dua orang dewasa yang untung saja Winnie bisa jadikan alasan.

"Oh, kirain kenapa."

Winnie mengulum bibir membodohi diri sendiri. Terlalu banyak berkhayal di saat sebelum tidur membuatnya seperti kurang percaya bahwa ini nyata. Untung ia bisa berpikir cepat dan kebetulan orang itu datang tepat waktu.

Selanjutnya hening melanda keduanya. Pandangan mereka kini jauh ke depan sana, memperhatikan jalanan basah dengan kendaraan berlalu-lalang meskipun hujan masih mengguyur.

Keterdiaman keduanya menciptakan suasana canggung yang kentara. Apalagi setelah itu musik yang terputar membuat Winnie meneguk ludah sudah ingin menghilang saja.

"Ah, kayaknya lagunya ganti aja ya Kak."

Gibran melirik kecil, senyuman tipisnya terangkat. "Nggak usah, ini enak kok. Aku suka."

Wajah Winnie sudah semerah kepiting rebus mendengarnya. Kekeh lembut gadis itu terdengar lirih, tersamarkan oleh suara hujan yang masih setia menemani.

"Aku kira kamu anaknya suka lagu yang ceria. Tapi ternyata selera musik kita sama." Gibran melirik sekilas, kemudian kembali lagi menatap depan. "Off My Face, aku suka deh lagu ini. Bikin tenang, iya kan?"

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang