51. Seuntai Harapan

551 45 12
                                    












Suasana sekolah hari itu seperti hari-hari biasanya. Gibran Athala si murid yang sibuk mondar-mandir dari lab multimedia hingga ke ruang fotografi.

Masih seputar materi DMI, praktek, juga latihan ujian SERKOM yang sebentar lagi diadakan bagi kelas 12. Pagi hingga sore rasanya panjang sekali dan benar-benar melelahkan.

Memasuki semester akhir memang waktu-waktunya untuk serius. Gibran sudah merencanakan dari awal bahwa dia ingin lulus dengan nilai bagus dan diterima di universitas bergengsi.

"Ban, ntar bagian ini coba lebih smooth. Ini agak kurang keliatannya."

Ah iya, omong-omong semester akhir. Praktek Multimedia memang semenyusahkan itu. Bukan perihal malas mengerjakan atau apa, tapi Gibran harus menghadapi pertentangan dari berbagai isi kepala. Dan rasanya sulit sekali.

Minggu kemarin setiap kelompok ditugaskan dalam project periklanan. Dan kalian tau kenapa hari ini belum selesai-selesai? Jawabannya karena ada revisi.

Kalau bikin iklan kayak gini, nggak heran kalau nggak ada yang beli. Kalian udah saya ajarin segala macem, kalian pelajari tidak?

Selalu. Hasil kelompok itu memang kurang memuaskan diri sendiri. Berbeda dengan tugas individu yang bisa ia lakukan sendiri tanpa harus memikirkan pikiran orang lain.

Gibran ingat sekali, hari itu rasanya menjengkelkan sekali. Wajah keruh dan perasaannya yang emosi, bergemuruh ia tahan mati-matian ketika teman-temannya berkomentar tanpa aksi.

"Udah aing bilang kemaren harusnya jangan kayak gitu, Ban. Ah sia mah da. Jadi harus rekam ulang."

Tak terima, Gibran jelas tersinggung. Pemuda itu mendekat perlahan dengan wajah suramnya, "Aing terus yang disalahin daritadi. Sia kerja apa aing tanya? Modal tumpang kaki doang, sok tah rekam sendiri. Aing denger pendapat bukan dari sia doang tolol."

"Ban, Ban udah Ban." Harsa mendekat. Gibran yang marah tak bisa dihentikan segampang itu. Gibran ketika emosi akan menghilangkan citra ramah tamahnya yang sama sekali berubah seratus delapan puluh derajat.

"Polontong anjing, dari kemarin-kemarin dilihat-lihat." Gibran menendang kursi terdekat, menambah suasana semakin menegangkan.

"Ban, sia udah naha." Argi ikut menarik pemuda itu sebelum benar-benar meledak saat itu juga disana.

"Aing cuma bilang doang, emang itu pas bagian sia yang rekam, Ban."

"BAGIAN MANA ANJING! AMBIL NIH KAMERA AING!"

"GIBRAN!"

Baru kali ini Gibran terlihat semarah ini, pemuda itu sudah kehilangan kesabaran karena kesibukan yang bahkan bukan hanya dari tugas sekolah saja. Harsa dan Argi sampai bingung sendiri memisahkannya bagaimana.

"DI KOMEN NGGAK TERIMA SIA MAH BAN!"

"YA MAKANYA SINI ANJING SIA BIKIN SENDIRI!"

Argi mendecak keras, melempar pulpen dengan sengaja. "SIA CICING HELA GOBLOG!"

Ricuh. Suasana XII Multimedia 2 ribut. Untungnya sekolah agak sepi karena murid yang lain sudah sebagian pulang. Setelah diteriaki, Gibran diseret pergi keluar kelas. Membiarkan emosi pemuda itu teredam sejenak.

Harsa sudah mengenal tabiat Gibran ketika emosi pasti akan seperti ini. Sulit dikendalikan. Pandai memendam, sekalinya kehilangan kesabaran meledaknya seram.

Hening menyelimuti kelas kosong, deru nafas Gibran masih menggebu-gebu. Diusapi Harsa pada punggung pemuda itu dengan lirihan kecil menenangkan.

Sebelum suara familiar diluar terdengar mengudara, sukses mengundang atensi Gibran.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang