54. Titik Temu

239 16 1
                                        













"Jangan terlalu terpaku dengan satu hal yang masih belum jelas akhirnya, apalagi itu manusia. Barangkali kamu ingin, jadikan ia sebagai prioritas kedua agar nanti sakitnya tak terlalu nyata."

Ada yang bilang menjadikan manusia rumah adalah salah satu hal yang menurutnya bodoh. Manusia itu gampang berubah. Sekarang mungkin dia masih menjadi sosok yang paling kamu andalkan, tetapi di masa depan belum tentu masih sama.

Lagipula untuk ukuran saling mengandalkan tak harus menjadikan ia rumah. Cukup saling menghargai juga tak apa. Dalam suatu hubungan juga, Winnie menerapkan sebuah prinsip ini.

Winnie tak akan menjadikan Gibran rumah. Tapi Gibran masih menjadi seseorang yang bisa ia andalkan karena dia pasangannya.

Winnie menghargai Gibran layaknya Gibran menghargai Winnie. Menurutnya suatu hubungan itu harus mempunyai timbal balik yang sama. Keseimbangan yang sesuai.

Tapi untuk kali ini Winnie kadang berpikir,

Apa Winnie sudah memberikan timbal balik yang sama terhadap Gibran yang bahkan memperlakukannya dengan sangat baik?

Apakah Winnie sudah mengerti Gibran? Sebagai pasangannya, apakah Winnie tau masalah apa yang sedang dihadapi Gibran hari ini?

Winnie kira dia belum terlalu mengenal pasangannya sendiri. Gibran terlalu menutup diri dan tak ingin berbagi cerita.

Tapi meski begitu, harusnya Winnie yang lebih mengerti. Harusnya Winnie yang lebih peka mengenai perasaan Gibran.

Isak tangis Winnie sampai saat ini tak bisa terelakkan meskipun usainya pulang sekolah hari itu. Memikirkannya lagi menimbulkan gelisah yang tak hilang-hilang. Resah hati yang membuat kepalanya pusing dan moodnya berantakan.

Bahkan ketika telpon masuk dari kakak laki-lakinya malam itu, Winnie masih menahan isakan kecil yang dipertanyakan.

"Katanya kamu nggak keluar kamar, dek. Lagi kenapa atuh?"

Winnie tak menjawab, hanya dengusan yang ia tujukan.

"Angkat."

Winnie berdecak malas ketika tombol video call terlihat dalam layar, "Atuh A nggak mauu, jangan vc."

"Angkat nggak? Atau A nambahin nomor Gibran nih."

"Ih apa sih, yaudah iya iya bentar."

Wajah Deon kentara lelah dengan kacamata bertengger di hidungnya. Agaknya Winnie lihat kakak laki-lakinya itu tengah mengerjakan sesuatu. "A lagi sibuk ngapain ngajakin vc aku."

Deon melirik sekilas, "Seenggaknya kalau mau nangis biar A temenin. Jangan sendirian gitu."

"Ih siapa yang nangis."

"Nggak usah bohong, dari nafas aja A tau kalau kamu lagi nggak baik-baik aja."

Winnie mencebik pelan, "Sotoy"

Hela nafas Deon si kakak laki-lakinya itu mengudara. Kini fokusnya bukan lagi pada lembaran kertas yang bertumpuk di meja, kacamata yang terpasang kini dilepasnya dan tatap matanya memaku pada Winnie yang hanya menampilkan setengah wajah yang hanya terlihat mata dan kening.

"Dek, A lagi nggak disana. A nggak bisa temenin kamu nangis atau dengerin kamu cerita secara langsung. Tapi buat kali ini adek coba bilang ke Aa kenapa, seenggaknya Aa disini nggak akan terlalu khawatir kalau kamu cerita."

Winnie dibuat tak enak hati dan hanya diam tak berkutik mendengarnya. Ada sesak yang tak bisa diungkapkan, mengundang air mata di pelupuk.

"Gibran nyakitin adek? Sok hayu cerita ke Aa. Nggak enak dipendem gitu mah," Deon menghela nafas panjang saat Winnie hanya diam, "Beneran gara-gara Gibran?"

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang