03 : Eksistensi Yang Terlihat

690 200 80
                                    







Winnie tak ada rencana masuk jurusan DKV, alias Desain Komunikasi Visual. Bermodal pengetahuan google, yang ia tahu hanyalah menggambar dan Winnie kira itu cukup mudah.

Namun ternyata, mudah-mudahan bisa bertahan.

Ini baru awal, dan Winnie mengingat janji kecil pada Papa yang ia ucapkan beberapa hari lalu sebelum dia resmi menjadi murid sekolah ini.

Jangan sampai Papa marah karena mendengar keluhan tak berbobot padahal Winnie belum masuk satu bulan sekolah disini.

Ini baru awalan, dasar, dan sekedar keingintahuan murid yang bertanya. Namun Winnie sudah merasa ini akan sulit, sesulit rumus fisika yang kerap ia lihat saat kakak laki-lakinya SMA beberapa tahun lalu.

Apa Winnie salah jurusan ya?

Tapi kan jurusan Winnie kesini adalah bertemu Gibran. Memang ada?

"Kamu udah isi formulir ekstrakurikuler, Win?"

"Hm?"

Winnie, dengan wajah kusutnya melirik samar. Helaan nafas beratnya terdengar, kemudian mengangguk malas kembali menidurkan kepala pada lipatan kedua tangan.

"Jadinya kamu pilih apa?" tanyanya lagi.

"Fotografi."

"Oh," Nania memutar pena terlihat berpikir. "Aku apa ya, Win? Kalau ikut kamu, aku nggak bakat foto-foto."

"Nggak tahu, terserah kamu." balasnya malas, masih dengan pejaman mata.

Nania terdengar menarik nafas panjang, gadis cantik itu menggoyangkan lengan Winnie sesaat, merengek kecil.

"Aku apa ya, Win... Kasih rekomendasi dong... "

Winnie mendengus refleks kemudian, merasa terganggu. Dia lupa memberitahu, selain mudah berbaur, Nania juga ternyata banyak omong. Tawa nya melengking panjang sampai Winnie merasa takut tenggorokan gadis itu putus.

Padahal awalnya Winnie pikir, Nania tipe perempuan yang anggun dan lemah lembut. Namun nyatanya sama saja seperti teman-teman yang lain.

"Win... kamu mah, kasih saran atuh... "

"Nia-"

Baru saja Winnie menggerakan tubuh, sudah menarik nafas panjang siap memberikan kata-kata wejangan untuk teman barunya ini, hingga ketukan pintu membuat atensi satu kelas terpusat sepenuhnya.

Beberapa kakak kelas laki-laki datang, berjalan angkuh di depan menjadi pusat perhatian. Winnie masih mempunyai sopan santun hanya menyangga dagu sudah menebak kumpulan pemuda di depan pasti akan promosi ekskul.

"Mana si Iban?"

Iban? Kak Gibran maksudnya?

Mendengar bisik-bisik di tengah heningnya suasana kelas, Winnie mengerutkan dahi masih dengan sanggaan kepala pada tangan.

Kemudian detik berikutnya, pintu kembali terbuka saat satu kakak kelas datang dengan tundukkan kecil menggumamkan maaf dengan lirih.

Winnie mendadak meneggakan tubuh melihatnya, menimbulkan suara beradu kursi dengan meja. Membuat kini, tolehan kepala serempak pada sumber suara. Memperhatikannya.

Termasuk Gibran.

Nania menyikutnya pelan, melotot kecil menyadarkan Winnie yang kian malu malah jadi mengaduh lirih menunduk dalam-dalam. Bersama umpatan dalam hati yang diam-diam dia ucapkan.

"Maaf, Kak."

Kemudian, Winnie tak mendengarkan. Fokusnya terpusat penuh pada Gibran si pemuda berwajah lembut yang kini entah menjelaskan apa, menunjukkan beberapa bagian dari kertas formulir.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang