Putaran waktu makin hari makin terasa cepat. Entah sudah beberapa kali Winnie menghindar dari Gibran yang sudah terlihat ingin mendekat dengan langkah lebar-lebar, namun gadis belia itu memilih memutar tubuh berlari sekencang mungkin agar tatap mata itu tak terjadi.
Winnie memberi jarak, mengutamakan kesembuhan hatinya yang dirundung sesak. Bukan ia berlari dalam masalah, namun Gibran yang kurang usaha. Winnie sempat memberi ruang, tapi lagi lagi Miya menjadi tempat yang Gibran kunjungi terlebih dahulu. Membiarkan ia lama menunggu hingga berujung pilu.
Lelah juga rasanya harus memberi harap yang Winnie rasa dia juga tak bisa menjaganya. Sedikit-sedikit naik, kemudian jatuh kembali. Winnie capek harus merapikannya kembali.
Jadi biarlah. Winnie sedang marah. Dia butuh waktu untuk merenung, ia butuh mengepakkan sayap harap nya yang terluka. Nanti, jika Winnie mau, dia juga terbang lagi. Tujuannya masih mengejar Gibran. Tentu saja.
Pertama kali Winnie absen adalah minggu kemarin. Dia bolos kumpul dan memilih pulang ke rumah Nania dan bermain sampai malam disana. Untuk terhindar dari Gibran Athala yang sudah menunggu di Ruang Fotografi jikalau pemuda itu menyegatnya lagi.
"Ini aslian nggak papa kan? Takut Kak Sadam ngamuk ih, dia anaknya perfeksionis banget tahu. Kamu nggak izin lagi, tiba-tiba bolos."
Omelan Nania dihiraukan, tanpa sedikit ia dengar. Malah dibalas Winnie, "Pentingnya ke kamu apaan? Udah deh, aku ini yang kena. Nggak papa, males banget ketemu Kak Iban sekarang."
Wajah Nania jelas terlihat tak mengenakan, namun Winnie mencoba tak peduli dan mulai naik dengan tenang. "Males teh sekarang, besok-besok mah kamu bucin lagi. Liat we sok, tingalikeun."
"Banyak omong ah, ayo jalan. Atau aku aja yang nyetir?"
"Nggak! Mau ngajak mati?"
"Ha-ha-ha, makanya. Ayoooo."
Harusnya Winnie menurut. Bukan mengikuti ego yang menyulut emosinya. Sadam Zibran memang dikenal dengan perfeksionisnya, namun Winnie tak tahu bahwa pemuda tinggi itu juga lebih peka mengenai anggotanya yang bermasalah.
Baru saja Winnie ingin kembali bolos, gadis itu sudah menyusun siasat bersama Nania untuk makan kenyang di Alun-alun sambil menikmati pengunjung yang menurut Nania banyak yang menyegarkan mata.
Tapi naasnya, sebelum bel berbunyi, sebelum guru yang mengajar keluar. Sadam Zibran sudah masuk terlebih dahulu, meminta izin agar ia bisa membawa Winnie untuk keperluan ekstrakulikuler fotografi.
Dan nyatanya Winnie dilanda ketakutan sekarang.
Ruang Fotografi masih sunyi, baru di datangi keduanya. Winnie sendiri sudah berdebar tak karuan berada di samping pemuda tinggi ini.
Bukan, bukan debaran jatuh cinta yang selalu ia rasa jika bersama Gibran. Ini debaran ketakutan atas kesalahan ia sudah lakukan tempo hari. Karena ini, merupakan hambatan kecil yang merembet pada program kerja ekstrakulikuler itu sendiri.
"Kemana Minggu kemarin, Win? Gibran bilang dia nggak bisa presentasi karena kamu nggak ada."
"Eh, itu... anu..." Belum apa-apa Winnie sudah tidak bisa menjawab. Karena nyatanya memang tidak ada alasan yang spesifik selain ia berusaha menghindari sejenak oknum yang bernama Gibran Athala.
"Kenapa? Ada masalah diantara kalian?"
Sadam Zibran dengan pembawaan tenangnya masih duduk diam di meja depan. Menyorot Winnie dengan tatap heran yang kentara, "Bukannya kemarin kalian baik-baik aja ya? Masih bisa nyelesain tugas kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling In Silence
Roman pour Adolescents❝ Sadar atau tidak, pengagum rahasia itu orang ketiga. Dan mungkinkah kamu termasuk ke dalam orang-orang itu? ❞ Started on June 2022 © Chocolalayu