Bukan lagi lapangan basket, ataupun dibawah silau matahari yang menyorot bumi seperti kala itu, kali ini hujan turun kembali.
Setelah dibubarkan oleh sang ketua, Winnie menyeret langkah mengekor Gibran. Mengikuti pemuda itu berjalan-jalan hingga sampai di Laboratorium Multimedia.
Berpuluh komputer berjejer rapi di dalam, mengundang decak kagum Winnie saat menginjakkan kaki di sana. Namun, bukan itu utamanya. Gibran mengajaknya kesini untuk menemukan objek unik yang mungkin bisa menyelesaikan tugas mereka.
"Nggak ada yang mewah sih disini. Tapi kita cukup ambil manfaatnya aja, penghematan biaya juga."
Winnie terkekeh kecil mendengarnya, "Kak Gibran ada ide objeknya mau apa?"
Senyapnya ruangan membuat decitan sepatu Gibran terdengar mendominasi saat pemuda itu melangkah pelan meraih sesuatu. Tumpukan buku usang di atas lemari menjadi tujuannya. Gibran mengambil beberapa.
"Di tas aku ada tripod, tolong ambilin Win."
Bersama kerjapan pelan, langkah kecil Winnie tak urung menuju tas Gibran yang tergeletak diatas meja. Meskipun ragu membersamai, Winnie membawanya setelah terdengar Gibran menyeru kecil, "Buka aja Win, nggak ada apa-apa kok."
"Ini Kak."
"Makasih ya."
"Iya, ada yang perlu dibawa lagi nggak?"
"Cuma meja aja sih kayaknya," Baru saja Winnie ingin melangkah, "Eh, itu aku aja, Win."
"Oh?" Winnie agak kaget, tolehan kepalanya terlihat kikuk. Dia meringis kecil, menimbulkan kekehan pelan Gibran yang kini mengikis jarak diantara keduanya.
Winnie sudah menahan nafas saat tubuh Gibran mendekat, mengalungkan kamera hitam itu pada lehernya. "Kamu pegang ini aja dulu ya."
Seperti dejavu, suara lembut pemuda itu mengayun merdu. Masuk perlahan melalui indra pendengar yang di iringi rintik-rintik air hujan di luar sana.
Winnie dibuat terpaku, kemudian ia tersipu. Kekehan pelannya mengudara, bersama netra yang terpampang kagum dalam sapa. Gibran menyiapkan segalanya dengan tenang.
Winnie sendiri kini memperbaikinya letak kamera pada tripod, sesekali melirik pemuda di depannya. Gibran bersama wajah fokusnya membuat pandangan Winnie enggan berpaling. Pahatan tuhan satu ini sudah membuat ia jatuh cinta berkali-kali.
Meskipun harus ada patah yang menemani.
"Kita coba pake Still-life aja ya, Win. Tau nggak?"
"Tau, aku pernah baca." Jawabnya pasti, pandangan matanya menatap Gibran yang kini angkatan alisnya terlihat menunggu jawaban. "Still-life Photography itu fotografi yang melibatkan benda mati untuk terlihat hidup. Dilihat dari letak pencahayaannya yang paling penting. Eh iya nggak sih?"
Gibran tertawa pelan, "Tadi kayaknya yakin banget tau. Tapi akhirnya kok ada yang ragu?"
Mendengarnya, gadis belia itu meringis kecil. "Tau kok aku, cuma takutnya ada yang salah gitu."
Sementara Gibran yang hanya tersenyum menanggapi sambil bergumam lucu membenarkan, Winnie sendiri sibuk memandangi meja cokelat itu sudah disulap sedemikian rupa.
Sebuah tempat pemotretan di Laboratorium Multimedia, Gibran beberapa kali bolak-balik untuk memenuhi apa yang dibutuhkan. Dari pengangkutan lighting kamera yang ada di Ruang Fotografi juga alat -alat pendukung lainnya.
Gibran bilang fotografi jenis ini tidak membutuhkan banyak barang mewah. Seperti tadi, sesuai yang ada di sekitar. Semuanya bisa jadi objek potret yang harus mereka reka ulang agar tampak hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling In Silence
Ficção Adolescente❝ Sadar atau tidak, pengagum rahasia itu orang ketiga. Dan mungkinkah kamu termasuk ke dalam orang-orang itu? ❞ Started on June 2022 © Chocolalayu