Mama pernah bilang, menyukai seseorang itu wajar. Mau dari pihak laki-laki ataupun dari pihak perempuan sendiri. Jika laki-laki bisa bertindak mendekati sang pujaan hati dengan bebas, berbeda dengan perempuan yang menunggu pangeran berkuda nya datang menjemput.
Dan masalahnya, kapan pangeran berkudanya datang?
Kenapa Winnie selalu menjadi pihak yang menunggu?
Mama pernah bercerita, saat ia menangis karena hari itu Gibran lulus SMP. Dan dia sendiri sudah kehilangan informasi tentang pemuda ramah itu hingga hanya bisa menerka-nerka sendiri.
Mama tidak tahu, tapi Winnie selalu bercerita. Setiap pulang sekolah, topik yang dibicarakan adalah dia, si pujaan hati Winnie. Yakni Gibran Athala. Dan Mama, sampai saat ini masih belum tahu siapa sosok yang Winnie sebut pangeran berkudanya.
Bukankah Winnie masih sangat belia untuk memahami apa itu mencintai sesungguhnya? Dan Mama hanya membiarkan saja, menjadi pendengar sejati yang membuat Winnie sendiri senang.
Winnie hanya anak kecil, yang kagum dengan laki-laki baik hati. Si pemilik senyuman manis memabukkan yang Winnie sukai diam-diam.
Namun tak tahukah Mama efek dari 'si pemuda yang ia sebut pangeran berkuda' itu begitu besar dalam hidupnya?
Hingga saat ini, detik ini juga nama Gibran Athala selalu menjadi pusat alasan dari segalanya.
"Mama, tadi aku lihat dia lagi ngasih makan kucing!"
"Oh ya? Si pangeran berkuda mu?"
"Iya! Adek suka banget lihatnya!"
"Adek sapa dong, ajak kenalan. Bukannya kamu juga suka kucing?"
"Ih malu! Adek nggak berani. Adek cuma bisa lihat dia aja, Ma."
Itu saat Winnie baru genap empat belas tahun. Kelas sembilan SMP. Masuk ke mobil, mencium pipi Mama, lalu duduk bercerita di jok belakang dengan seru sambil menyusuri jalanan Bandung bersama Kang Juju, supir rumah mereka.
Namun seiring bertambahnya usia, Winnie kini sering diantar Papa. Berbincang kecil mengenai jajanan Bandung, tempat liburan menyenangkan di Lembang, atau sekedar mencari angin di Jalan Braga bersama Mama.
Winnie masih bisa membayangkan senyum hangat Gibran walaupun beberapa hari telah berlalu. Sebelum Mama datang dengan tumpukan baju yang ia susun di lemari, memecahkan lamunan.
"Adek, orang yang dimaksud pangeran berkudamu itu Iban anaknya Teh Yuni kan?"
Winnie mendadak diam mati kutu. Olesan pada wajahnya berhenti di udara, seluruh badannya menegang kaku merasa tebakannya tepat.
Bukankah Mama tidak tahu apapun selama ini? Winnie bahkan tidak menyebutkan inisial yang menjurus pada Gibran Athala. Lantas bagaimana Mama bisa menebak dengan tepat?
"Kemarin Mama ngobrol sama Teh Yuni, Mamanya Iban. Katanya Iban satu sekolah sama kamu, Mama juga kaget awalnya." Mama dengan tenang melanjutkan, suara laci lemari terdengar memenuhi ruangan.
"Terus juga, Teh Yuni banyak cerita tentang Iban. Dan Mama kok ngerasa kayak pernah denger, dejavu gitu loh. Terus pas Mama inget-inget lagi, eh ini kan yang diceritain adek."
Mama sudah menoleh pada Winnie yang hanya diam membisu dengan wajah pucat pasi. Tawa lembut Mama terdengar kemudian, langkah kakinya membawa pada Winnie yang kini duduk di depan meja rias malam itu.
Rangkulan dari Mama terasa hangat, pandangan matanya beradu dalam cermin. Mama mengusapi bahu Winnie penuh kasih sayang, tersenyum lebar.
"Nggak papa, kok kaget gitu? Emangnya Mama nggak boleh tahu, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling In Silence
Teen Fiction❝ Sadar atau tidak, pengagum rahasia itu orang ketiga. Dan mungkinkah kamu termasuk ke dalam orang-orang itu? ❞ Started on June 2022 © Chocolalayu