Seharusnya hari ini adalah hari yang Winnie tunggu-tunggu. Ketika ujian selesai, artinya nilainya akan keluar. Dan hasil dari usahanya dapat ia lihat dengan jelas. Tentang angka-angka yang ia harap dapat membanggakan Papa dan Mama. Juga, tentang angka 100 dengan janji yang di ingkari Gibran.
Kala itu semuanya hambar. Winnie menjalani hari tak tenang. Gibran kerap datang, dan masih dengan rasa tak bersalahnya. Bertanya-tanya dengan gurat wajah bingung yang kentara. Seolah pemuda itu memang tak tahu apa-apa.
Dan ini membingungkan. Apakah Gibran tak sedikitpun merasa bahwa sebelum pemuda itu menjalin hubungan dengan orang lain, dia memupuk harapan pada Winnie tempo hari. Winnie sampai tak bisa berkata-kata saking tak mengertinya.
Maka dari itu yang Winnie lakukan hanya mengindar. Berusaha mati-matian ketika ia melihat Miya dan Gibran berjalan-jalan di lingkungan sekolah dengan tawa yang membersamai, pemuda itu benar-benar tak bisa menjaga hatinya. Selalu saja.
Mungkin, mungkin saja selama ini Winnie hanya dibuat terbuai sesaat karena sebuah rasa penasaran? Atau hanya singgah sejenak karena terlalu bosan dengan yang pertama?
Sial, Winnie tak akan menyangka kisah cinta pertamanya bisa setragis ini. Dia tak menyangka sosok Gibran Athala yang ia idam-idamkan dapat menyakiti dan membodohinya. Dan tetap saja, yang Winnie salahkan adalah dirinya sendiri.
Karena dari awal sudah terlihat jelas bahwa Gibran memang sudah dekat dengan perempuan lain. Tapi dengan bodohnya Winnie nekat untuk terus memperjuangkan perasaannya. Sampai ia patah sendiri, dan merasa sesakit ini.
"Winnie! Astaga, serius deh. Kamu keren banget!"
Ketika namanya disebut, dan ia maju ke depan. Winnie dirangkul hangat oleh wali kelas disana, bersama untaian kata apresiasi dengan sorak tepuk tangan teman-teman. Lembar ujian miliknya menjadi satu-satunya yang paling tinggi. Dan Winnie merasa seterharu ini.
"Belajar keras kamu nggak sia-sia, Win. Liat dong, ya ampun kamu seriusan ini bahasa Inggris nya 100. Ceklis semua ini, wow!"
Melihat respons menghebohkan Nania, gadis berkepang itu tak henti-hentinya membolak-balik kertas ujian dengan decak kagum membersamai. Menimbulkan kedutan senyum haru Winnie yang dapat meringankan hati.
"Ini mah fix, langsung jadian sama Kak Iban. Seneng nggak kamu? Ih iya dong?"
Mendadak, senyumannya perlahan luntur. Titik-titik hatinya kembali diserbu gundah yang menyelimuti. Winnie dibuat membeku ketika dengan sumringahnya Nania mengatakan secara gamblang.
Hari itu, Nania menjadi orang pertama yang menjadi tempat cerita Winnie sepulang dari bukit. Lontaran kata demi kata seolah lancar mengagung-agungkan Gibran dengan cerianya. Dan kali ini Winnie lupa, bahwa ketika hatinya patah ia tak bercerita pada siapapun. Karena Winnie memilih untuk diam dan menyimpan kesakitan ini sendiri.
Sementara tak mendapatkan respons yang baik dari temannya itu, Nania ikut mengubah gurat wajah. Menangkap sesuatu dari gelagat aneh Winnie, gadis itu bertanya, "Win? Kenapa? Gue salah ya?"
Mengerjap, Winnie menipiskan bibir. "Nggak kok,"
"Tapi kenapa kok jadi sedih? Ada sesuatu?"
Baru setelah Nania menatapinya dengan raut wajah cemas, gadis itu tiba-tiba menunduk. Menarik nafas panjang, melirih pelan. "Kak Iban udah jadian sama Kak Miya, Nia. Aku udah kalah kayaknya."
Nania melebarkan mata, terkejut bukan main. "Hah? Serius? Kamu tau dari mana?"
Winnie mengangguk lesu, tatapan matanya sendu dengan tawa hambar yang kemudian mengudara. "Kak Miya datengin aku, dia sendiri yang ngaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling In Silence
Novela Juvenil❝ Sadar atau tidak, pengagum rahasia itu orang ketiga. Dan mungkinkah kamu termasuk ke dalam orang-orang itu? ❞ Started on June 2022 © Chocolalayu