34. Ketika Laki-laki Jatuh Cinta

456 67 23
                                    













Harsa bilang masuk Multimedia itu adalah sebuah kesalahan besar. Kenapa?

Pertama, meskipun ia suka foto-foto tapi Harsa selalu tak bisa memenuhi kriteria penilaian sesuai dengan yang diberikan guru pembimbing.

Kedua, ketika suatu hobi dijadikan sebuah minat, kamu pasti akan kehilangan pelarian ketika keluhan datang dari hobi kamu sendiri.

Katanya seperti ini ketika Gibran bingung menangkap maksud dari pemuda itu bagaimana, "Contohnya urang kan suka kamera, terus masuk jurusan Multimedia. Urang nggak tahu kalau ternyata Multimedia ini jadi sesulit itu, makanya pas lagi ada masalah malah makin ribet karena yang jadi masalahnya itu hobi kita sendiri. Urang jadi bingung mau lari kemana, karena biasanya kalau ada masalah ya kamera."

Harsa terdiam sejenak, "Ngerti nggak?"

Membalas tatapan, Gibran menggeleng lugu. "Nggak,"

"Yeu si anying."

Dan Gibran hanya tertawa ketika Harsa malah mendelik malas dan memilih berdiri, melangkah pergi keluar kelas. Sebelum samar-samar Gibran dapat mendengar umpatan si pemuda itu di depan pintu.

"Ari kamu ngapain di sana?"

Penasaran, Gibran ikut bangkit dan menghampiri. Suasana kelas tak begitu ramai membuat Gibran bisa mendengar suara perempuan di hadapan Harsa.

"Maaf, Kak. Tadi... tadi... ini... "

"Ya atuh—"

"Kunaon Sa? Aya saha?" (Kenapa Sa? Siapa?)

Ketika tatap mata mereka beradu, mendadak debaran jantung Gibran kembali berdetak cepat. Lagi dan lagi, oleh orang yang sama. Melihat Winnie di depan matanya saat ini, pemuda itu tanpa sadar meloloskan gumaman kecil, "Eh Winnie?"

Gibran bahkan belum berkenalan secara resmi, tapi ia sudah  refleks menyebut nama gadis itu sekarang. Dan lihat, Winnie sampai melebarkan mata tampak terkejut.

"Saha? (Siapa?)" Gibran tak benar-benar melirik, karena ia tahu meskipun temannya ini seolah bertanya polos, nyatanya ada nada tengil yang terselip.

Maka dari itu Gibran hanya menjawab singkat, "Adik kelas," Seolah tingkah Harsa tak mengganggunya, seakan Gibran tenang-tenang saja ketika jari jemari lentik Winnie terlihat menyodorkan kertas formulir kepadanya. Juga seolah-olah Gibran tak mengumpati Harsa yang tatapannya sudah terasa mengeluarkan kerlingan jahil.

"Walah, udah dapet cemceman aja." Katanya bersama tawa mengudara, "Ati-ati, dek. Si Iban ceweknya banyak."

Mendelik, belum juga pemuda itu mengeluarkan tempelengan menyebalkan, Linggacahara Harsa sudah kabur duluan membiarkan Gibran merutuk dalam hati. Temannya itu memang tak bisa diajak kerja sama.

Tapi sial, Gibran juga jadi kelu begini ditinggalkan berdua di depan kelas seperti ini. Ragu-ragu, Gibran melirik kecil Winnie yang tampak tenang di depannya. Memecah hening, "Maaf ya, jangan di dengerin."

Dapat dilihat, Winnie mengangguk kecil bersama tundukan kepala yang sopan. "Nggak papa, Kak."

Gibran berdehem kecil, menyentuh hidung mencoba tak grogi. "Jadi ada keperluan apa kesini?" tanyanya kemudian yang langsung dirutuki diri sendiri. Pertanyaan bodoh yang pastinya apa lagi selain untuk Fotografi.

Memangnya Gibran siapa sampai ia berharap banyak seperti ini? Astaga, memalukan.

"Eh iya Kak, itu kertas formulir pendaftaran."

"Fotografi?"

"Iya."

Harsa sialan. Harusnya dia tak pergi. Setidaknya jika ada pemuda itu Gibran tak jadi orang bloon begini. Apa sih? Sok keren, Gibran jadi ingin memaki dirinya sendiri sekarang. Bahkan ketika kertas formulir itu ada pada genggamannya, membolak-balikkan dengan anggukan kecil seolah benar-benar membaca.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang