"Naon eta (Apa itu), Ban?"
Gibran tak berhenti menarik senyuman dan sama sekali tak menjawab tanya teman. Bahkan ketika Harsa memasang wajah menyebalkan karena melihat wajah lebih dari ceria Gibran pagi ini membuat ia merinding sendiri.
"Geuleuh ih (Jijik ih)," Harsa bergidik kala itu. "Pasti gara-gara si bocil."
Baru setelah mendengar nama panggilan yang sangat ia hafal siapa orangnya, Gibran terkekeh-kekeh menduduki kursi. "Apalan gening? (Tau aja)"
Harsa mendelik malas, "Geus khatam aing mah (Udah hafal aku mah)."
Dan Gibran mendekap erat-erat kotak kecil hadiah pemberian Winnie tadi dengan senyum yang tak pudar sedikitpun.
Pagi itu pembekalan PKL. Gibran sudah ditempatkan di Foto Studio daerah Jatinangor. Harsa bagian Advertising di kawasan Kiaracondong. Argi sendiri sama halnya. Lalu kali ini, ketika mereka duduk di ruangan yang sama, di Aula Utama sekolah dengan AC enak. Ada cerita yang perlu Gibran sampaikan.
Di sela waktu senggang istirahat, Harsa sudah duduk pojokkan tembok sambil mengisi daya baterai. Sempat mengeluh sambil memiringkan ponsel. "Anjing sengsara banget punya hape iPhone. Cas lagi cas lagi, aing banting juga lama-lama."
Menginjak bulan keenam, tak heran lagi kalau yang jadi topik pembicaraan adalah tentang kisah cinta Gibran dan Winnie. Meskipun ada hal lain terselip, tentang kisah cinta Harsa yang sebenarnya gagal move on, dan Argi yang masih terkagum-kagum temannya sendiri. Tetap saja, masalah Gibran lebih sering terdengar.
Mengingat kembali kala itu, belakangan ini Winnie jadi rajin belajar. Gadis itu dengan serius mempelajari bahasa asing dengan tekun setelah kala itu nilai Inggris nya menurun. Dan dengan keajaiban Bunda, Gibran jadi guru les dadakan untuk adiknya dan gadis yang disukainya.
Banyak tawa yang mereka lalui di sela belajar bersama, banyak obrolan yang menjadi cerita menggemaskan diantara teh hangat dan kertas latihan bertebaran. Mereka banyak menghabiskan waktu dengan senyuman, menciptakan kedekatan yang tak terhindarkan.
Gibran lebih berani melangkah, Gibran lebih berani mengambil tindakan. Dan tentu, Winnie menjadi pihak yang mudah tersipu. Yang wajahnya selalu merona dan salah tingkah sendiri.
"Anying, sia nggak salah ngasih flashdisk, Ban? Ini mah isinya foto si bocil semua."
Gibran melirik, terkekeh menanggapi. "Oh itu pas kemaren ke Sudirman. Abisnya lucu, sayang euy kalo nggak di foto."
Harsa mendecak halus sambil terus mengutak-atik komputer, "Najis, bucin. Dalam rangka apa sih emang?"
"Hadiah sih," Melihat tatap Harsa yang bingung, ia kembali melanjutkan. "Anaknya seneng banget pas nilai Inggris nya naik, maneh tau kan urang disuruh jadi guru dadakan sama Bunda buat Winnie?"
Harsa mengangguk paham, "Oh heeh apal (Oh iya tau). Apa adanya banget anaknya, Ban. Si bocil mah lucu, tapi emang aslian lucu. Nggak sok imut kayak mantannya si Argi."
"Naha aing sih? (Kenapa aku sih?)" Argi menyahut tak terima. Ditanggapi tawa Harsa. "Ban ceuk urang (Kata aku) maneh cepet jadian deh, keburu PKL. Sia juga Sa, nggak usah gengsi mau minta balikan sama si Gia."
"Anying!" Harsa refleks mengumpat, "Sia cicing ya, Gi. Tong mamawa aing!"
(Kamu diem ya, Gi. Jangan bawa-bawa aku!)
Banyak kesempatan yang selalu hadir tiada henti mengenai perasaannya yang sudah menimbulkan warna yang jelas. Bukan lagi abu-abu. Tapi sulit sekali rasanya ketika Gibran harus mengutarakan isi hati, belum ada waktu yang sesuai keinginannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling In Silence
Genç Kurgu❝ Sadar atau tidak, pengagum rahasia itu orang ketiga. Dan mungkinkah kamu termasuk ke dalam orang-orang itu? ❞ Started on June 2022 © Chocolalayu