21. Katanya Hadiah Kecil

363 77 15
                                    


Belajar bersama Gibran membuahkan hasil yang tak terduga. Hari-hari berikutnya, minggu-minggu ujian selanjutnya menimbulkan nilai-nilai yang semakin meningkat.

Meskipun mengeluh tak pernah terlewat, walau banyak tangis tertahan yang siap tumpah di sela-sela malam mulai menghampiri. Dia bisa meraih nilai impian, usaha kerasnya terbayar tak sia-sia.

Ada seulas senyum bangga saat kertas ujian minggu lalu jatuh pada genggaman Papa. Apalagi setelahnya dihadiahi tepukan lembut pada puncak kepala, mengusapnya perlahan dengan gumaman apresiasi.

Kejadian ini tak lepas dari bantuan Gibran serta merta usahanya sendiri agar dia bisa sampai titik ini. Juga dukungan Nania yang kini tertular ingin belajar sampai mengikuti les tambahan sepulang sekolah.

Maka hari itu, bersama senyum manisnya yang berkembang, Winnie melambai riang saat pintu Fotografi terbuka menampilkan sosok Gibran dengan jaket denimnya pada pundak.

"Kak Iban! Liat, nilai aku naik!"

Sapaan ceria itu memenuhi ruangan, Gibran bahkan belum sepenuhnya duduk pada kursi sebelum gadis berkuncir itu sudah menyodorkan selembar kertas lebih dulu. Menimbulkan kekehan kecil dari pemuda itu.

"Waduh, pinter. Naik berapa?"

"Lima! Kemaren-kemaren aku nggak bisa tuh bisa nyampe ke 73 gini. Mentok-mentok ya 65, dapet 73 tuh pas remedialnya doang."

Winnie sudah berceloteh riang sampai kuncirannya bergerak menggemaskan. Membiarkan tatap mata Gibran di depannya harus membagi fokus antara soal ujian dan melihat ekspresi gadis itu.

"Seneng banget?"

"Ih iyalah! Pasti! Tadi ya pas aku ngerjain ini, nggak ada sampe harus hitung kancing, atau ngikutin feeling. Meskipun ya akhirnya ada yang salah juga sih, tapi nggak papa deh, yang penting ada peningkatan kan?"

Sederhana. Papa juga tidak menuntut Winnie agar nilainya langsung naik ke tingkat 100 sekaligus. Butuh proses, dan Winnie masih harus berusaha lebih baik lagi. Lalu saat ini, biarlah ia menikmati kesenangan sejenak setelah berhasil menghancurkan rasa malas yang selalu mengganggu.

Karena nyatanya, semakin berusaha semakin kita bisa.
Begitu kata Papa.

Winnie tidak perlu mendapat nilai sempurna, yang tak terlihat kesalahan secuilpun. Meskipun sebelumnya Papa seolah marah besar, menyudutkannya. Namun kini ia paham, itu salah satu bentuk motivasi diri agar Winnie ingin berusaha. Agar ia ada kemauan untuk lebih baik lagi.

Terbukti saat ini, bukankah ia bisa?

"Karena nilai ujian kamu naik lima, mau aku kasih hadiah nggak?"

"Serius? Apa Kak?" Bersama senyuman lebarnya, juga kelopak mata bulatnya yang berbinar, gadis itu menyahut semangat. Raut wajah Winnie benar-benar terlihat sumringah.

Maka dari itu, Gibran sama-sama tersenyum lebar. Menjawab dengan sama cerianya, "Pulang nanti kita ke Sudirman Street Food, mau?"

"Mau!"

**

Jika Winnie mempertanyakan ini, harusnya ia menyadarinya lebih lagi. Diantara banyaknya pengunjung yang datang, memilah olahan makanan yang menggiurkan di kanan kiri, Winnie baru terpikir ini sekarang.

Sebenarnya apa tujuan Gibran melakukan ini?

Hanya sekedar hadiah kecil disaat ia berhasil menggarap nilai yang menurutnya memuaskan kah? Atau ada arti lain yang ingin menyenangkan hatinya?

Dari awal, Winnie tak berniat akan sejauh ini. Dia pernah bilang bahwa bisa satu sekolah serta bertetangga dengan Gibran juga sudah cukup. Tapi gerakan tubuh serta takdir yang berjalan melebihi itu.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang