28. Patah Hati Sebenarnya

369 80 21
                                    









Tatapannya sendu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tatapannya sendu. Winnie memandangi pesan Gibran yang dikirim satu jam yang lalu tanpa ada niat membalas sama sekali. Kemudian hela nafas beratnya terdengar gundah. Winnie menutup mata sejenak.

Gibran ini, sebenarnya punya hati tidak sih?

Apa Winnie harus menegaskan bahwa "Kak Iban tuh udah punya pacar. Jadi nggak usah ngetreat aku like a princess. Atau aku nanti makin suka."

Tapi dia gengsi. Winnie tidak mau menerima resiko apapun setelah patah hatinya saat ini. Dia ingin Gibran sadar akan posisinya sendiri. Winnie ingin Gibran mengerti bahwa jika pemuda itu terus saja gencar memberi perhatian meski sebenarnya sudah memiliki pacar, ini salah besar. Lagipula, Miya tidak sepenuhnya salah jika memang pengakuannya itu benar-benar nyata. Alias fakta.

Karena jika Winnie berada di posisi Miya, dia pasti akan melakukan hal yang sama. Mencegah datangnya orang ketiga. Menjaga laki-lakinya agar tidak berpaling kepada perempuan lain.

Tapi rasanya, Winnie tidak percaya. Sebagian hatinya mengelak bahwa ini tak benar. Winnie belum pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Gibran dan Miya memang sedekat itu melebihi kedekatan dirinya. Karena terlalu tiba-tiba rasanya, laki-laki yang akhir-akhir ini dekat dengan dia, malah menjalin hubungan dengan orang lain?

Otaknya dimana? Apakah Gibran memang orangnya sebrengsek itu?

Hela nafas berat gadis itu tampak tak tenang. Lagi dan lagi hatinya memberat. Jika begini, Winnie harus apa? Dia jadi serba salah, dan Winnie tak berani mempertanyakan.

Siklus percintaan memang seperti ini kah? Atau hanya Winnie yang kurang beruntung? Mana ini kali pertama, tapi sudah dihantam sakit hati yang dalam. Sampai kepercayaannya terancam sekarang.

Tersadar, gadis itu memilih meraih buku tebal di atas meja. Dengan sampul yang tertera Gibran Athala, Winnie mulai membuka lembar demi lembar membacanya perlahan.

Ketika netra hitamnya meneliti setiap soal, ada jejak pena yang terlihat. Tulisan tangan Gibran yang dengan setiap detailnya menjawab soal-soal yang tertera ada disana. Menghiasi setiap halaman.

Coretan tinta yang sialnya semakin ia baca semakin membuat emosi nya naik permukaan. Gemuruh sesaknya kian muncul, seolah menuntutnya untuk marah. Juga kecewa yang terasa lebih nyata sakitnya.

Winnie merasa pandangannya semakin memburam. Kala hatinya yang dirundung sesak itu semakin membuat ia tak bisa menahan tangisan. Jatuh perlahan pada halaman buku, membasahi jejak pena yang tertulis rapi disana.

Kemudian lama-lama, isak tangis tertahan terdengar mendominasi ruangan. Di antara lampu kamar yang samar, juga suasana malam yang gelap. Genggaman pada telapak tangannya menguat, sebisa mungkin meredam emosi yang tak bisa dibendung lagi.

Winnie benar-benar kecewa. Dan ia marah. Sangat.

Dan ketika ujian selesai besok siang, gadis itu melangkah tak sabar menghampiri si pemuda. Gibran Athala yang kini tertawa-tawa di kantin yang hanya didatangi oleh beberapa murid.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang