Sebenarnya Winnie benci tugas kelompok. Apalagi kali ini dia berpisah dengan Nania.
Kerja sama dalam pengerjaan tugas bukanlah hal yang ia dapat terima dengan sukarela. Karena umumnya, sering ia rasakan di sekolahnya dulu, bahwa tugas kelompok hanya dikerjakan oleh sebagian anggota. Yang lainnya hanya numpang nama dan enaknya saja.
Winnie tidak suka, tapi ia harus bagaimana lagi.
"Win, aku duluan ya."
Kepala gadis itu melirik sesaat, mengangguk kecil balas melambaikan tangan pada teman kelasnya yang mulai menghilang satu-persatu setelah katanya sudah menyelesaikan tugas kelompok.
"Iya, hati-hati ya!"
Kini tinggal Winnie sendiri di sini. Sembari merapikan beberapa buku yang bertebaran di meja, serta laptop yang masih menyala, dia menarik nafas panjang, bersungut-sungut dalam hati.
Winnie beberapa kali mengeluh, mendecak ringan namun tak urung menyeret langkah keluar kelas dengan tangan menenteng tas laptop serta buku-buku perpustakaan yang sempat ia pinjam untuk keperluan tugas.
Pandangan matanya menjelajahi sekitar, menatapi satu dua siswa yang masih betah di sekolah entah ada keperluan apa. Kemudian kepalanya terdongak, melihat awan hitam pekat mulai terkumpul di atas sana.
Yang menandakan sebentar lagi turun hujan.
Langkah kaki yang dibalut sepatu hitam itu semakin ia percepat. Winnie memasuki perpustakaan, mengembalikan buku, kemudian kembali keluar dengan terburu-buru. Sudah pukul lima sore, dan Winnie pastikan Mama pasti akan mengomel.
Baru saja ponsel dalam genggamannya menyentuh telinga, bermaksud ingin menghubungi Mama, namun hujan deras tiba-tiba turun bersamaan dengan baterai ponselnya habis.
"Yah, hujan. Gimana dong?"
Monolog Winnie di tengah riuhnya suara air hujan yang beradu dengan tanah, membuat gadis itu hanya bisa memundurkan langkah melindungi tubuhnya sendiri. Keningnya terlipat, melirik kanan kiri berharap ada seseorang yang dapat membantunya kali ini.
Ini menyebalkan, Winnie bahkan tak bisa menghubungi siapapun dalam kondisi seperti ini. Mana ponselnya mati, dia berdiri tempat sepi begini. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
"Winnie?"
Lama hening serta pegal mulai terasa, Winnie dikejutkan dengan suara yang memanggil namanya. Wajahnya kentara terkejut, kelopak matanya terlihat melebar saat tahu-tahu sosok Gibran Athala muncul dengan jaket denim biru nya.
Datangnya bagai seorang pangeran untuk puterinya. Dan Winnie merasa ini sudah rencana Tuhan, yang membuat dia kesenangan.
"Eh, Kak Gibran?"
Seperti biasa, senyuman memabukkan Gibran selalu terlihat cerah. Meskipun saat ini gelap mendominasi di langit sana, tapi di mata Winnie sosok Gibran Athala selalu terlihat bersinar seperti matahari pagi.
"Kamu belum pulang?"
Itu basa-basi, yang sialnya membuat Winnie grogi. Di tengah dinginnya cuaca saat ini, wajah Winnie malah menghangat. Gadis belia itu berdehem samar sebelum menjawab.
"Iya, Kak. Kejebak hujan, hehe."
Memalukan. Winnie memalingkan wajah dengan rutukan dalam hati mulai ia ucapkan. Apa harus ada 'hehe' diantara jawaban yang lebih bagus lagi selain itu?
Winnie melirik kecil Gibran yang hanya ber-oh pelan. Dia sudah mengira percakapannya habis di sana saja sebelum suara Gibran kembali terdengar kembali, membuat kali ini Winnie hanya bisa menjawab dengan pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling In Silence
Fiksi Remaja❝ Sadar atau tidak, pengagum rahasia itu orang ketiga. Dan mungkinkah kamu termasuk ke dalam orang-orang itu? ❞ Started on June 2022 © Chocolalayu