Sebagian orang pasti setuju bahwa hari libur akan lebih baik digunakan untuk tidur hingga siang hari menyapa. Bermalas-malasan meskipun kamar berantakan. Apalagi teriakan Mama mendominasi, menyuruhnya bangkit, bersama wejangan pagi hari yang membuat sakit telinga.
Minggu pagi Winnie, biasanya seperti itu. Membiarkan tubuhnya terdampar di ranjang kesayangan, meskipun bangun-bangun kepalanya langsung berputar-putar.
Aroma masakan Mama menguar kuat saat Winnie menginjakkan kaki pada undakan tangga dengan pakaian tidur yang masih terpasang. Wajahnya kucel dengan rambut tak berbentuk. Winnie menguap lebar, duduk malas di kursi makan, memandangi Mama yang sudah cantik meskipun apron merah muda itu sudah usang termakan waktu.
"Nah, bagus. Gitu dong, bangun pagi. Mama kayaknya nggak pernah tuh masak bareng sama anak perawan."
Winnie hanya membalas dengan gumaman kecil, sudah malas duluan. Lagipula dia sangat terpaksa jika Mama tak bilang bahwa kakak laki-lakinya hari ini akan pulang, makanya rumah merasa berpesta.
Hidangan Mama tak main-main, meja makan sampai penuh dengan berbagai masakan. Belum lagi kue yang saat ini masih di dalam oven, belum sepenuhnya matang. Ini menggiurkan, dan membuat perut kosong Winnie bergetar.
Tapi belum saja tangannya bergerak, berniat mencomot sedikitnya masakan Mama, tepukan kecil kemudian terasa. Mama melotot kecil, memperingati.
"Nggak sopan. Sana siram tanaman, Mama belum sempet tadi."
Winnie memberenggut malas, "Kenapa aku?"
"Karena kamu anak gadis satu-satunya. Kan nggak mungkin Mama suruh Kang Juju buat siramin tanaman?"
Merasa kalah, Winnie hanya membalas dengan decakan menyebalkan. Percuma saja berdebat dengan Mama, perempuan dewasa itu tetap menjadi pemenang. Dia hanya menggerutu dalam hati, mengayun langkah malas menuju halaman depan.
Sembari menguap lebar-lebar, bersama jarinya yang menggaruk kulit kepala yang gatal, Winnie meraih selang air yang kini digunakan juga oleh Kang Juju yang tengah membersihkan mobil.
"Winnie!"
Masih memasang wajah super malas, mendengar panggilan yang menyerukan namanya, Winnie melirik. Kontan terkejut, kelopak matanya membola. Dengan mulut menganga, Gibran Athala melambai riang.
Diantara pagar pembatas serta jalan membentang, teriakan Gibran terdengar jelas. Lengan kanannya sama-sama memegang selang air, tampak membersihkan motor Scoopy merahnya.
"Kang!"
"Eh! Lagi cuci motor A!"
"Haha, iya nih Kang. Mumpung libur!"
Mampus, image anak rajin Winnie yang susah-susah ia bangun di depan Gibran runtuh begitu saja. Apa kata Gibran saat melihat wajah kusut dan penampilan tidak enak dipandang Winnie saat ini?
Dengan gerakan secepat kilat, Winnie memutar tubuh bersama umpatan diam-diam ia lontarkan. Bibirnya bersungut-sungut, sesegera mungkin melesat pergi membiarkan Kang Juju yang memandanginya dengan raut wajah heran.
Sialan, siapa yang harus Winnie salahkan?
**
Sebenarnya, Shandika Deon Suryawijaya itu tipikal kakak laki-laki yang baik dan bijaksana. Namun satu hal yang Winnie tak suka, kejulidan yang pemuda itu miliki rasanya tak bisa hilang hingga sekarang. Meskipun sudah memasuki tahun ke empat di Universitas ternama di Jogjakarta.
Winnie bangga, tentu. Kakak laki-lakinya memang pintar, makanya ia masuk kesana. Tapi melihat bagaimana sosok berkaos hitam itu disini, saat menginjakkan kaki setelah dua bulan lamanya tak pulang dari rantauan, Winnie merasa Shandika jauh lebih menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling In Silence
Teen Fiction❝ Sadar atau tidak, pengagum rahasia itu orang ketiga. Dan mungkinkah kamu termasuk ke dalam orang-orang itu? ❞ Started on June 2022 © Chocolalayu