24. Sebuah Petuah Teman

309 72 12
                                    








Sudah sepatutnya bahwa ketika Winnie lebih memilih SMK ia harus menghadapi PKL. Sebuah Praktik Kerja Lapangan yang menentukan layaknya kita bekerja apa tidak.

Sayangnya, ini bukan masa bagi Winnie. Ini untuk Gibran, pujaan hatinya yang baru saja menapakkan kaki di perusahaan yang sudah ditentukan. Bersama teman-teman lain yang sudah ditebak tak ia kenali.

Ketika minggu-minggu ujian selesai dan berakhir libur panjang, Winnie memilih tidur sepanjang siang. Menghabiskan waktu di kamar, menonton drama, menghias canvas, dan tentunya memandangi Gibran.

Sosok pemuda itu layaknya orang sibuk. Setiap akhir pekan selalu bergegas buru-buru bersama si merah jagoannya. Kadangkala, hadirnya teman-teman Gibran lain yang bisa bertahan hingga malam.

Winnie bukannya penguntit yang selalu saja mengawasinya setiap pergerakan mereka. Ini murni kebetulan ketika ia menjadi tetangga Gibran yang tau segalanya. Seolah memberikan kabar terbarunya.

Lalu kala itu Winnie masih mengingat dengan jelas. Saat ia pulang dari rumah Nania, di antar perempuan itu. Rumah Winnie dikunci, yang otomatis ia harus menunggu Papa dan Mama pulang.

"Kak Iban, Mama aku titip kunci nggak?"

Hari itu masih siang hari, terik mataharinya sampai menyilaukan mata. Dan Winnie bisa melihat teman-teman Gibran disana, tengah mengotak-atik kamera entah sedang apa.

Langkah kaki gadis itu harus rela berjalan kesana, bertanya ragu pada Gibran yang sudah sadar akan kehadirannya. Dan sialnya, Bunda tiba-tiba keluar rumah, membawa nampan camilan dan disambut hangat perempuan itu.

"Tante lihat mereka pada keluar, Win. Kamu tunggu disini aja, sama Iban. Boleh kan?"

"Aku tunggu di teras rumah aja, Tante. Nggak enak sama temen-temen Kak Iban juga, hehe."

Winnie terlalu banyak alasan, dan ia terlalu kegeeran. Padahal sedari tadi, sepertinya tak ada yang tertarik pada permasalahannya sendiri. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.

"Ih nggak papa atuh, mereka mah anaknya santuy kalo kata Harsa mah. Geya lagi tidur, jadi kamu nunggunya sama Iban aja ya, Win."

Winnie ingin menolak kembali, tapi mendengar suara Harsa yang akhirnya masuk dalam pembicaraan dengan raut ramahnya, "Kalem aja we, Win. Kita ge sering liat kamu sama si Iban kok. Kalian kan deket akhir-akhir ini."

Refleks lirikan matanya tertuju pada Gibran yang sama-sama melampar pandang. Kemudian kerjapan matanya terlihat, Winnie membuang muka dan hanya bisa duduk canggung diantara para pemuda itu.

Selebihnya teman-teman Gibran menyenangkan. Meskipun Winnie menunggu disana berjam-jam, mereka tahu cara bersikap. Mereka bisa menarik atensi Winnie agar tak kesepian sendiri.

Obrolan-obrolan ringan yang menimbulkan tawa, ocehan Harsa yang ditentang Argi si emosian, dan Gibran yang menjadi penengah diantara keduanya. Sementara Winnie hanya tertawa kecil, merasa gemas.

Darisana pandangan Winnie terus menatapi refleksi Gibran dengan balutan kaos hitam polos bersama teman-temannya. Bagaimana ia tersenyum, bagaimana cara menanggapi ocehan Harsa, tawanya, juga sikap-sikap kecil yang jarang Winnie lihat sebelumnya.

Ada sebuah perbedaan. Berada di lingkungan teman-temannya, tawa Gibran mengudara tanpa ragu. Tingkah pemuda itu tak tertebak tanpa canggung. Winnie suka, dan ia hampir lupa bahwa sedari tadi senyumnya tak hilang-hilang.

"Ban, salting atuh. Di liatin tuh, mana di senyumin juga. Alah siah, madep."

Dan hari itu berakhir dengan hati yang meringan. Winnie pulang dengan senyuman kian melebar. Dan esoknya tau-tau masuk sekolah. Artinya, mereka mulai PKL. Sementara Winnie memulai sekolah tanpa melihat Gibran di lingkungan sekolah nanti.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang