08 : Butterfly Effect

486 123 24
                                    









Winnie jadi suka hujan. Alasannya hanya Gibran.

Benar, semuanya Gibran. Pemuda tampan pemilik senyuman hangat itu memberikan efek yang besar bagi kehidupan masa remajanya. Dijadikan alasan apapun, di keadaan bagaimanapun.

Terserah, Winnie tidak peduli anggapan kalian seperti apa. Masa bodoh, dia menyukainya dan kalian tidak berhak menghakiminya sama sekali.

Beberapa hari lalu ia lewati dengan kegelisahan yang mendera, menunggu pengumuman lolosnya seleksi Klub Fotografi yang ia dambakan. Dan akhirnya, tanpa ia duga, nama Winnie disebutkan dengan lantang oleh Gibran Athala di Ruang Fotografi pulang sekolah kala itu.

Ini mengejutkan, dan jujur Winnie sangat berterima kasih kepada Gibran yang sukarela memberitahu sedikitnya mengenai bocoran kegiatan yang akan menentukan lolos apa tidaknya ia masuk fotografi.

Karena setelah Gibran memberitahu, Winnie belajar dengan keras mengenai seputar fotografi hingga waktunya tiba, dia dapat menjawab dengan benar. Dan berakhir disini, duduk diam mendengarkan Sadam Zibran, ketua Klub Fotografi yang kini mulai menjelaskan beberapa hal.

"Kayaknya buat awal kegiatan begini, kami masih mendampingi kalian dalam praktik pengambilan gambar. Teknik-teknik menggunakan kamera."

Pemuda yang tingginya menjulang itu menjelaskan dengan tenang, menunjuk beberapa benda hitam berkalung itu sudah berjejer rapi di lemari.

"Ambil kamera ini, masing-masing satu. Kakak-kakak yang lain akan mendampingi kalian."

Winnie menjadi orang terakhir yang diam di barisan menuju lemari, terlambat sudah, dia kehabisan. Kamera terakhir sudah diambil Kemala dengan tak berdosanya.

Gadis belia itu mengerjap-ngerjap tak tahu harus berbuat apa, wajah polosnya melirik kanan kiri, memandangi teman-teman lainnya yang sudah mendapat masing-masing satu kamera.

"Ada yang nggak kebagian?"

Baru setelah mendengar itu, Winnie ragu-ragu mengangkat tangan, membiarkan seluruh atensi semua orang terpusat padanya. Memandanginya, termasuk Kemala Dewi yang entah pandangannya membuat Winnie kesal.

"Ban,"

"Ya?"

"Dia sama kamu ya, kameranya nggak ada yang lebih. Aku juga lagi nggak bawa."

Pandangan Gibran menubruk netra hitam Winnie yang perlahan berbinar senang. Pemuda itu menampilkan senyuman manis, mengangguk dengan tenang. Gerakan tangannya mengayun, menyuruhnya datang.

Winnie yang seolah sudah tersihir pesona si pemuda, melangkah riang dengan ulasan senyum manis yang terlihat. Dia mengusap rambut pendek sebahunya, merapikan sesaat.

Langkah mereka keluar dari ruangan setelah diperintahkan. Berdampingan menuju tempat yang Winnie juga tak tahu ia akan dibawa kemana.

"Nih, ini kamera kesayangan aku, loh."

Winnie agak mendongak, bersitatap langsung dengan Gibran yang dengan sukarela mengalungkan kameranya pada Winnie yang sudah melebarkan mata dengan wajahnya yang memerah sudah.

"Dijaga baik-baik."

Intonasi bicaranya, senyuman hangatnya, Winnie terpana sejenak. Dia memalingkan wajah, menelan ludah kemudian berdiri kikuk merasa salah tingkah. Anggukan kepalanya terlihat, menggumam lirih membalas respons yang diberikan.

Tubuh tegap Gibran sudah beberapa langkah di depannya, berjalan diantara cerahnya langit siang kala itu, ditatapi Winnie yang malah terdiam dengan desiran menyenangkan mendominasi hatinya.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang