Dari awal, Winnie sudah mendapat peringatan yang jelas oleh Papa mengenai perjanjian kecil kala itu. Tentang kisah romansa yang Papa harap Winnie tak sampai ke dalam lingkaran itu. Tentang perasaan menyukai dan mengagumi lawan jenis yang berakhir dengan jalinan kasih yang semakin lama semakin dalam.
Papa sudah berharap banyak bahwa ia tak melanggar, dan kali ini memang sudah seharusnya Papa untuk marah. Tapi Winnie juga ingin dimengerti, tak seharusnya Papa melarang sebegitu kerasnya hingga membatasi seluruh kegiatannya kali ini.
Winnie hanya menyukai Gibran, laki-laki ramah yang kebetulan tetangga depan rumah. Apa Papa tak pernah muda sampai-sampai tindakannya seolah suatu kejahatan yang sulit dimaafkan?
"Berapa lama kamu deket sama anak itu?"
Kemudian malam ini, di tengah-tengah suasana menegangkan di rumah. Winnie harus meneguk ludah ketika mendengar tanya Papa.
"Udah lama, Pa..."
"Terus sekarang kalian pacaran?"
Mendengar todongan pertanyaan itu, Winnie dibuat membisu. Luapan emosi yang tersirat dalam intonasi bicara Papa membuat Winnie kesulitan menjawab. Dia sudah merasa takut ketika Papa sudah begini.
"Adek, jawab Papa. Kamu suka sama dia?"
Remasan tangan Winnie menunjukkan kegelisahan yang tak terhindar. Gundah dari raut wajahnya mengundang helaan panjang Papa yang sudah tau meskipun tak mendengar pengakuan dari putrinya ini.
Kemudian Mama datang, perempuan dewasa itu meraih lengan sang suami. Mengusapnya lembut. Ketika tatapan matanya bertemu, Mama mengangguk lirih. "Pa, tenangin diri dulu. Kasian Winnie."
"Mama tau?" tatap mata Papa terlihat menajam seiring usapan Mama yang perlahan tak terasa lagi. "Mama biarin Winnie deket-deket sama cowok sampe seintim itu?"
"Pa—"
"Mereka nyaris ciuman, Ma! Gimana Papa nggak marah?!" Sentakan keras Papa mengudara, mengundang pejaman mata Winnie yang jadi ketakutan. "Mama kira Papa bakal diem aja ngeliat anak Papa sendiri udah kayak gitu kelakuannya?"
Papa menggumam emosi, "Masih untung Papa yang mergokin. Gimana kalau tetangga lain liat? Yakin kamu nggak bakal dituduh macem-macem?"
Mendengar nada tak mengenakkan itu, Winnie dibuat tertunduk dalam. Isak tertahannya terdengar lirih, bahunya bergetar. Tak ada salahnya Papa marah, tapi nyatanya Winnie juga tak bisa untuk tak terbuai. Gibran seolah menarik kesadarannya dan menghilangkan akal sehatnya sejenak.
Winnie paham betul Papa ingin ia baik-baik saja. Winnie sangat mengerti betapa Papa ingin melindunginya dari interaksi lawan jenis. Tapi bukan seperti ini yang ia harapkan. Papa dengan segala emosinya malam ini membuat Winnie ketakutan.
"Kamu bahkan dapet KTP aja belum, Win. Masih di bawah umur berani-beraninya udah kayak gini? Sekarang kamu paham kenapa Papa larang kamu pacaran kan?"
Lagi-lagi Winnie hanya bisa terisak-isak. Tak berani menjawab.
"Udah ke berapa kalinya?"
Mama melebarkan mata, Winnie juga refleks mengangkat kepala. Wajah sembabnya terlihat, Winnie menyahut. "Maksud Papa?"
"Papa tau kamu ngerti. Jangan pancing amarah Papa lebih dalam lagi, Winnie."
Lantas dengan begitu, Winnie tergugu sejenak. Gurat wajahnya menurun, untuk kesekian kalinya Winnie menangis. Di hadapan Papa, di depan wajah Papa yang terlihat mengeras menahan gejolak emosinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling In Silence
Novela Juvenil❝ Sadar atau tidak, pengagum rahasia itu orang ketiga. Dan mungkinkah kamu termasuk ke dalam orang-orang itu? ❞ Started on June 2022 © Chocolalayu