26. Sebuah Temu

308 69 21
                                    













Kembali pada masa-masa ujian yang suntuk dan membosankan, Winnie kali ini berambisi untuk mendapatkan posisi tinggi. Bukan semata-mata karena ucapan Gibran kala itu. Namun sepertinya, ada niat kecilnya yang timbul dalam diri agar ia bisa lebih baik lagi.

Winnie si ambis.

Seringkali Nania mengejeknya seperti itu. Ketika di waktu luang ia habiskan dengan mendengarkan materi dalam siaran YouTube. Menyimaknya dengan cermat. Atau juga mengisi kuis-kuis yang menampung banyak pengetahuan umum dan kejuruan. Dia membulatkan tekad untuk memberikan raport kebanggaan pada tangan Papa.

Sementara sibuknya Winnie yang berambisi mendapatkan nilai tinggi, Gibran lebih mengutamakan fotografi di atas segala-galanya. Lalu setelah itu baru mempersiapkan sidang PKL yang kalau Harsa bilang bikin deg-degan.

SMK Bina Pratiwi isinya memang bukan murid sembarangan. Tiap-tiap jurusan pasti tak terlewatkan ada anak pintar. Sampai Winnie kewalahan. Apalagi menilik temannya yang sering uring-uringan karena persaingan sengit antara sesama akuntansi. Membuat ia juga ikut sakit kepala.

Suasana Sekolah kadangkala terasa sunyi dan damai. Faktor utamanya adalah mencari kefokusan di sela-sela Uji Sertifikasi Kompetensi yang kini dirasakan oleh kelas XII. Winnie sampai merasa terkucilkan karena mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.

"Win, mau nyari materi yang ini di perpus nggak?"

Ketika kedua langkah kakinya beriringan keluar dari kelas, Nania menunjukkan gambar dalam ponsel. "Emang ada?"

"Ada, kemaren sempet liat. Yuk?"

"Yaudah, ayo."

Mengelilingi rak demi rak untuk mencari buku yang diincar memang agak menyebalkan. Winnie sudah pegal leher duluan karena terlalu lama mendongak. Kakinya juga agak pegal dan ingin segera duduk santai. Tapi naasnya si buku sulit ditemukan.

Tadi Nania bilang memang ada, tapi hanya satu. Entah kemana yang lainnya, mungkin itu salah satu buku yang dipinjam tapi hanya disimpan asal. Jadi yang ia lakukan membiarkan Nania duduk duluan di kursi dan terlarut dalam hening.

Hari itu masih pukul satu siang, udaranya panas. Winnie juga sedikit melihat murid-murid yang masuk kesini, yang ada hanya penjaga perpustakaan dan beberapa murid saja.

Ketika langkah kakinya menyusuri rak-rak buku yang tinggi, ada siluet samar di antara sepi nya perpustakaan. Tempatnya sejuk, hanya sebagian kecil tersorot cahaya matahari.

Winnie menghentikan langkah, termenung lama. Gibran Athala duduk disana, memejamkan mata bersama headphone yang terpasang. Kedua tangannya terlipat di depan dada, tak menyadari kehadirannya.

Sebut Winnie terpesona. Gibran Athala dengan baju praktik lapangan merah maroon itu menjadi perpaduan sempurna. Bahkan ketika pemuda itu diam, aura ketampanannya tak pernah luput dalam pandangan.

Lalu dengan sisa sisa keberanian, ia menyeret langkah dengan ragu. Memberanikan diri menatapi wajah damai pemuda itu. Menelaah setiap inci garis-garis wajah Gibran dengan detail. Merekam setiap ukiran yang terlihat.

"Kak Iban pasti capek ya?" Lirihan pelan Winnie kemudian, Winnie menumpu dagu dengan tangan. Masih tak melepas pandangan.

"Kasian, kayaknya Kak Iban kurang tidur. Ngurusin sidang buat PKL ya, Kak?" Lagi, Winnie bermonolog dalam hening. Dia bahkan mengayunkan lengan, bergerak pelan menyentuh permukaan rambut halus pemuda itu.

"Great job, Kak Iban. Kakak keren. Aku denger dari yang lain Kak Iban katanya juara fotografi wakilin sekolah kita." Winnie menarik senyuman tipis, "Jadi makin suka deh, hehe."

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang