50. Dari Hati ke Hati

162 34 1
                                    














"Hidup tenang banget ya kalo udah dapet restu dari calon mertua."

Seringai lebar menjadi respons refleks Gibran ketika mendengar lontaran Harsa di rumahnya kala itu. Pilihan kedua tempat berkumpulnya teman-teman setelah rumah Harsa.

Ada kekeh ringan Jaidan juga setelahnya, disahuti dengan nada canda. "Si Iban mah udah lulus langsung nikah cenah."

"Kalo laper tinggal ke rumah Bunda." Argi menimpali.

"Goblog!"

Tawa Harsa selalu menjadi suara paling menggelegar dan tampak puas sekali. Meskipun pemuda itu menghadap layar televisi sambil memainkan jari dengan kepala terdongak. Tetap saja telinganya tak pernah melewatkan hal yang penting.

Omong-omong soal Papa Winnie, tak ada yang salah dari ucapan Harsa di atas. Rasanya memang menenangkan, damai dan seakan lega sekali. Dia tak akan menampik bahwa Gibran begitu senang tak terkira.

Bukan lagi sekedar sapa canggung yang menyelimuti, bukan lagi tatap datar dan menakutkan yang ia dapati, Papa Winnie berubah menjadi pribadi yang ramah hati.

Hehe, Om Bayu ternyata baik juga.

Gibran beberapa kali berangkat bersama dengan Winnie, memakai helm couple yang awalnya ditatapi dengan geli sambil berkata, "Apa itu teh? Siapa yang ngidenya?"

Dan Winnie refleks menunjuk Kak Gibran.

"Euleuh," direspon Papa Winnie dengan wajah jahilnya, Gibran otomatis haha hehe tak jelas menahan malu.

Kemudian sebuah rutinitas baru muncul ketika malam minggu tiba. Bukan dinner romantis, bukan pula jalan-jalan ke Bukit Bintang yang dinobatkan tempat favorit 'mereka berdua'.

Ini tentang chemistry, katanya.

Biasanya setelah belajar bersama (Karena Gibran masih diminta jadi guru pengajar untuk Winnie) Om Bayu pasti mengajaknya main catur. Masuk jam delapan, Ayah Agung datang menggantikan.

Dan acara dua keluarga itu dimulai.

Dibilang senang, iya. Dibilang sedih, tidak juga. Gibran sebenarnya tidak tahu motif Papa Winnie bersikap begini itu untuk apa. Tapi melihat keakraban Ayah Agung dan Om Bayu, lalu Mama Winnie dan Bunda, entah kenapa rasanya menenangkan sekali.

Apalagi ketika melihat pemandangan Winnie bersama adiknya, sikap gadis itu terhadap Geya, selalu berhasil menghipnotis pikirannya. Gibran tak bisa untuk tak bahagia, sejatinya ini yang ia cari.

Seseorang yang dapat memberi kebahagiaan. Bukan untuk dirinya sendiri saja, tapi untuk orang-orang yang Gibran sayangi juga.

Entah sudah berapa ribu kali tingkah Winnie selalu mengundang kagum yang semakin sini makin meningkat, Gibran tak menampik bahwa dia dibuat jatuh cinta berkali-kali.

"Ay,"

Tertoleh, bola mata bersinar Winnie mengundang senyum lebar Gibran. Langkah kakinya menuju mereka, sama-sama ikut duduk lesehan di karpet permadani disana.

"Kenapa, Kak?"

Bersama tarikan senyum manisnya, gelengan kepalanya terlihat. Bersama telapak tangan pemuda itu bergerak, mengusap lembut rambut hitam Winnie. "Nggak papa, manggil doang."

Ada kekeh ringan ketika dengusan Winnie terdengar setelahnya. Sebelum suara Geya menarik perhatian keduanya.

"A, Aa!"

"Apa Ge? Kenapa?"

"Aku... nanti mau main sama Teteh." katanya riang, nadanya terdengar senang memandang Winnie, "Ya kan, Teh?"

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang